Chapter 3 || Cincin

9 2 0
                                    


|| Cincin ||

Suasana di sekitar Museum Fatahillah nampak ramai Sabtu pagi ini. Weekend memang banyak dimanfaatkan warga ibukota untuk beristirahat dari lelahnya hari kerja. Berbeda dengan orang lain, jadwal pemotretan seorang model terkadang tidak teratur, begitu juga Lara a.k.a Ara. Hari ini dia ada jadwal pemotretan di Museum Fatahillah.

"Come on, Ara. Lupakan mimpi yang kemarin," ujar Fay membujuk Ara agar moodnya membaik. Pasalnya dari pagi wajah Ara terus tertekuk, dia bahkan meninggalkan sarapan paginya.

Ara menatap Fay sekilas, di wajahnya tersirat banyak sekali makna. Tapi dengan hanya seperempat ilmu psikologi yang Fay punya, dia jadi tidak bisa menjabarkan semua makna itu. Lagipun sebenarnya Fay bukan mahasiswi psikologi.

"Apa yang harus aku pakai hari ini?" tanya Ara serak. Sepertinya hari kemarin benar-benar menguras emosi, tenaga, dan suara Ara.

"Oh iya, aku lupa. Tema kita married loh, ya ampun pasti keren-keren deh gaunnya apalagi fotonya." Fay bercerita dengan semangat meski sedang menyetir mobil. "Okey."

"Singkat amat, mbak," ujar Fay mulai kesal dengan respon Ara. "Sepertinya hari ini juga akan menjadi pemotretan tergerah. Astaga panas sekali," lanjut Fay.

Mobil yang dikemudikan Fay melambat, mencari tempat parkir. Setelah sekian menit maju mundur, akhirnya mobil warna putih itu parkir di antara dua mobil sedan hitam dan abu-abu. Fay menarik rem tangan mobil dan memastikan bahwa mobil telah berhenti dengan baik dan benar.

"Sebentar Ar, biar kubuka kuncinya dulu." Fay menekan salah satu tombol di pintu mobil dan membuat semua kunci mobil terbuka. Dua gadis itu pun turun sembari memakai kacamata hitam dan meletakkan topi besar di kepala. Cantik sekali.

Mereka berjalan memasuki halaman Museum langsung menuju tempat persiapan. Ara merasa gelisah, hatinya tak nyaman. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan kebahagiaan dari kenangan-kenangan di tempat ini. Ara memejamkan mata sebentar kemudian membukanya dan menyapu pemandangan sekitar.

"Huft ...."

"Kemari Ar, banyak yang sudah menunggu kita." Fay menarik tangan Ara dan membawanya menuju lokasi. Ara terlalu lamban.

∆∆∆

Gaun cinderella berdominan warna putih dengan aksen glitter biru laut di bagian bawahnya nampak cantik melekat di tubuh Ara. Rambut Ara disanggul kecil seperti seorang pramugari tapi yang ini agak ke atas. Penata rambut juga menyisakan beberapa helai rambut yang dibiarkan menjuntai di sisi kanan dan kiri. Ara juga harus memakai sarung tangan putih berenda. Sepatunya berwarna putih, sepatu kaca. Sekarang Ara benar-benar seperti seorang putri.

"Geser kanan dua langkah, Ar!" teriak Sena—fotografer—dari jauh. "Masih kurang pas," ucapnya bergumam.

Ara sibuk menyingkirkan juntaian anak rambut yang terus bergerak dari pipi ke mulutnya. Tentu tidak enak rasanya menjilat rambut sendiri yang terbang karena angin. Ara tak pernah sesemangat dulu saat pemotretan. Jadi, wajar saja jika sekarang ia lebih memilih mengikuti arahan daripada berinisiatif mencari gaya sendiri. Pusing, menurutnya.

Setelah selesai dengan urusan anak rambut, sekarang Ara sibuk dengan gaunnya. Gaun yang besar di bagian pinggang ke bawah ini lebih merepotkan dari pada si anak rambut. Pasalnya dia juga ikut kesana kemari mengikuti arah angin. Karena geram, Ara mengangkat gaunnya lebih tinggi sehingga membuat sepatu yang tadinya tertutup jadi terlihat.

"Pas! tahan begitu, Ar!" teriak Sena. Sepertinya gerak spontan itu adalah gaya yang sedang di cari-cari Sena.

Ara memandang ke bawah, dilihatnya jemari sebelah kirinya. Ada benda kecil yang menyilaukan di jari manisnya.  Ara menatap lekat benda itu. Dia tersenyum simpul, dan terbawa lorong waktu ke masa lalu.

∆∆∆

"Kamu suka yang mana, sayang?" ujar seorang pemuda pada kekasihnya yang sedang sibuk memilih cincin.

"Bagus yang silver atau emas?" tanya si gadis.

"Terserah kamu, dua-duanya bagus."

"Pakai ukiran atau polos?"

"Terserah kamu sayang."

"Permata kecil atau besar?"

"Mana aja bisa."

"Ih, kamu kok jawabnya gitu sih. Gamau tau aku ngambek," ujar sang gadis cemberut.

Pemuda itu mengelus lembut kedua pipi kekasihnya. Dia menangkup pipi gembul si gadis lalu mencium keningnya. Kedua sejoli itu berpelukan di muka umum, membuat mbak-mbak penjaga etalase perhiasan tersenyum iri. Kasihan, mana tahan kaum jomblo melihat kemesraan.

"Aku tau kamu udah milih dan aku tau pendapat aku pasti sama kayak kamu, Ra," ujarnya berbisik di telinga Lara membuat Lara bergidik geli terkena hembusan napas Aksa. Ya, sepasang kekasih ini memang Lara dan Aksa.

"Oke mbak, ambil sepasang cincin warna silver, ya." Ara menunjuk sepasang cincin yang ada di dalam etalase.

"Oh ya, yang untuk prianya pake ukiran ya, mbak. Trus buat ceweknya polos aja cuman tambahin permata di tengah." Si pelayan mengangguk menyiapkan pesanan customer nya.

Ara memandang Aksa yang duduk di sampingnya sembari terus tersenyum. Aksa yang merasa diperhatikan mendongak, geli melihat senyum Ara. Aksa meletakkan ponselnya lalu menimpuk wajah Ara dengan majalah di sampingnya.

"Au! sakit tau ...." Ara mencubit pinggang Aksa kencang membuat si empunya hampir menjerit.

"Sakit Ra, lepasin. Ra, sakit ..." ujarnya memohon.

Ara terkikik, "Makanya jangan jahil dong." Ara mencolek hidung mancung kekasihnya.

"Lagian kenapa senyum-senyum gitu?" Kini giliran Aksa yang berkacak pinggang. Ara menggeleng kemudian tertawa lepas. Tawanya yang unik membuat Aksa ikut tertawa.

Aksa merentangkan kedua tangannya dan langsung ditabrak tubuh Ara. Mereka berdua berpelukan lagi di sofa ruang tunggu. Kedua sejoli ini nampak bahagia sekali, masih cikikikan.

"Nanti main ke kotu¹, ya?" Aksa mengangguk. Mereka tertawa lagi membuat orang-orang di sekitarnya heran.

"Emh ... maaf, ini pesanannya," ujar pelayan takut mengganggu sembari menyerahkan paper bag berisi cincin seharga delapan digit rupiah. Ara dan Aksa berhenti tertawa. Sepersekian detik kemudian mereka tertawa lagi, menertawai nada bicara si pelayan.

"Sebentar mbak," ujar Aksa.

∆∆∆

¹kotu = Kota Tua

Tbc.
Jangan lupa vote dan koment ya😄

Story' by tiamaqrifah
Support by Writinginlight__

Lara, back to NetherlandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang