Chapter 10 || Aksa atau Ersya?

4 1 0
                                    


"Aku masih percaya bahwa kamu tetaplah kamu seberapa banyak kamu menyangkalnya."

Lara Zaina Shaletta

"Aku tak pernah menyangkal dan aku tidak sedang menipu. Aku hanya sedang menjelaskan siapa diriku padamu."

Ersya Faresta Mahardika



|| Aksa atau Ersya? ||

Lara mematung melihat sosok di depannya sekarang. Bagaimana bisa? Sungguh Lara tak percaya, tapi sel bahagianya sudah terlanjur memenuhi setiap pembuluh darah di tubuhnya.

"Aksa! Kamu di sini?!"

"Aksa? Siapa Aksa?" Pemuda itu berbicara dengan bahasa Indonesia. Lara semakin yakin dan percaya bahwa Aksanya telah kembali.

"misschien is hij te moe, wil je gaan studeren?"

(Mungkin dia terlalu lelah, kamu ingin berangkat kuliah?)

"Ja, tante. ik ga eerst."

(Iya, Bibi. Aku pergi dulu.)

"Wees voorzichtig, Ersya."

(Hati-hati di jalan, Ersya.)

Pemuda itu pergi meninggalkan Bi Ella dan Lara tanpa sempat berkenalan dengan Lara. Bibi Ella yang kebingungan hendak bertanya pada Lara mengenai siapa Aksa. Pasalnya, tidak ada orang bernama Aksa yang tinggal di rumahnya ini. Namun, belum sempat ia bertanya, Lara sudah mendahului.

"Ik zal hem inhalen." Lara memakai sepatunya dan segera ke luar rumah.

(Aku akan menyusulnya.)

Bibi Ella melihatnya cengo, "Ik denk niet dat hij Nederlands verstaat," ujarnya bergumam setelah Lara berjalan agak jauh. "Goh, wat voor soort verhaal heb ik hem verteld?"

(Aku pikir dia tidak mengerti bahasa Belanda. || Astaga, cerita macam apa yang saya ceritakan kepadanya?)

∆∆∆

"Ini tiketnya ... hosh ... pesawat bakal datang satu ... hosh ... setengah jam lagi ..." ujar Rifqi terengah-engah.

Kakinya terasa pegal sekali. Ke sana kemari mencari tiket tersisa untuk penerbangan tercepat bukan perkara mudah. Dia harus pandai-pandai meminta pada petugas, teliti mencari tiket online, atau memohon pada calon penumpang lain. Fay yang sudah kehilangan akal hanya bisa menangis. Mengontrol perasaan cemas juga bukan masalah sepele. Akhirnya, setelah tiga puluh menit berputar mencari akal, Rifqi berhasil membawa dua buah boarding pass.

"Shutt ... jangan menangis, aku sudah dapat. Ada banyak orang di sini, berhentilah menangis." Rifqi merengkuh tubuh Fay. Membiarkan tetes demi tetes air matanya membasahi jasnya.

"Setelah itu ... hiks ... bagaimana? ... hiks ... hiks ... Lara memutuskan sambungan teleponnya," ujar Fay sesenggukan. Hebat sekali ikatan antara dua perempuan ini.

Tiket sudah dapat, pesawat tinggal menunggu, barang-barang masih aman. Namun, pertanyaan terbesarnya adalah mau kemana mereka setelah mendarat? Liburannya kacau sejak awal.

"Gimana, Qi? Lara masih trauma di sana, gimana kalo ada apa-apa. Dia tuh ga mau ngomongin hal-hal berbau itu lagi!" ujar Fay menggebu-gebu. Ketakutannya sudah mencapai ubun-ubun. Sebagai seorang psikiater, Rifqi merengkuh Fay mencoba memberinya rasa aman dan ketenangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lara, back to NetherlandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang