Senin pagi, udara dingin dengan awan mendung membuat sebagian orang memilih membawa benda apapun yang dapat melindungi diri dari hujan dan kedinginan. Beberapa terlihat santai duduk di kendaraan pribadi, beberapa terlihat terburu-buru dan beberapa lagi seolah acuh tak acuh terhadap apapun yang terjadi di sekitar.
Beginilah hidup. Jangan berharap di pedulikan banyak orang karena orang-orang juga sibuk dengan dirinya sendiri.
Gedung lima lantai, sebuah bangunan tua yang dahulunya dijadikan sebuah toko peralatan elektronik yang sudah lama tak terpakai dijadikannya tempat untuk cowok tinggi berseragam putih abu itu berdiri mematung memandang ke arah jalan. Padahal sudah hampir dua jam dia berdiri dengan tatapan menyedihkan itu di sana. Tapi tak ada pergerakan yang menandakan dia akan bergerak untuk beranjak pergi.
"Konyol" Suara serak pelan yang hampir tak terdengar keluar dari mulut pucatnya.
Ada darah kental yang sudah hampir mengering di salah satu lubang hidungnya, tapi dia bahkan tak peduli lagi.
Apapun itu dia tak akan peduli lagi.
Perlahan, kaki panjangnya melangkah sedikit. Tujuannya adalah sisi gedung yang berjarak tiga langkah dari tempatnya berdiri sekarang.
Atap gedung itu, memang tanpa penghalang. Membuatnya lebih mudah melakukan niatnya.
Satu. Langkahnya mulai melebar.
Dua. Dia kembali melangkah.
Tiga. Dia sampai di tempat tujuannya.
Udara dingin kembali berhembus. Pikirannya melayang kembali kekejadian beberapa bulan ini.
Mengerikan. Dia menyesal tidak bisa melupakan semua itu.
Tangannya perlahan terentang.
Bunuh diri.
Apa sekonyol itu akhir hidupnya?. Tapi sudah lah, beberapa saat lagi segalanya akan berakhir dan dia akan lebih tenang. Semoga saja.
"Se—"
"Woy! Selangkah lagi lo gerak, gue beneran tendang lo dari sini" Melengking. Suara itu jelas suara perempuan. Apa katanya tadi? gue beneran tendang lo dari sini. Ancaman macam apa itu, sudah jelas orang itu tau bahwa dirinya ingin mengakhiri hidup, dan orang di itu malah mengancam hal konyol semacam itu padanya.
Lagi-lagi semua ini konyol.
Tidak ada jawaban.
Orang di belakangnya terbatuk pelan. Dia membentak "Woy! Lo beneran mau gue tandang?!"
Lagi, dia tidak menjawab.
Orang di belakangnya berubah geram.
Sialan. Dia emang gak ada otak, budeg. Jadi pengen nendang beneran.
Untuk yang kedua orang itu kembali terbatuk. Kali ini lebih keras dan kencang di sertai dahak.
"Gara-gara dia gue batuk beneran" kalimat itu sebenarnya bermaksud di ucapkan pelan, tapi dia bisa mendengarnya dengan jelas karena cewek bodoh itu mengucapkannya dengan nada tinggi untuk menyindirnya.
"Woy! Lo harusnya sekolah 'kan. Kenapa malah berdiri di sana? Mau bunuh diri?" seruan itu kembali terdengar tapi dia tidak berniat menjawabnya sama sekali.
Cewek ini menggangunya saja.
Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menarik lengannya kuat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik.
Teen FictionKatakan atau diam? Semua orang menganggapnya gila. Apa yang bisa dia lakukan? Mengeluh? Sudahlah, dia sudah sangat bosan. Menangis? seandainya dengan itu bisa membuat semuanya lebih mudah. Mengakhiri? Ya, sepertinya itu bisa di pertimbangkan. Mung...