***
Banyak orang sering menyepelekan gangguan mental. Menganggap orang dengan ganguan mental itu adalah orang-orang lemah yang kurang dekat dengan Tuhan. Memandang sebelah mata dan mencibir tanpa berusaha memahami.
Tapi apapun ucapan meraka, bohong jika Biru tidak peduli.
Diusianya yang baru menginjak sembilan belas tahun, Sabiru sudah di diagnosis skizofrenia paranoid. Dua tahun tidak naik kelas, dua kali dirawat di rumah sakit jiwa membuatnya mendapat pandangan buruk dari orang-orang.
Biru tidak peduli. Yah, dia bohong lagi.
Mempunyai banyak teman yang bersifat parasit, membuatnya sadar kalau hanya Ogera lah satu-satunya sahabat baiknya yang selalu ada. Bahkan, saat Biru mengaku kalau dia mengidap skizofrenia, yang dilakukan si bodoh itu hanya tertawa lalu memeluknya dan memperlakukannya seperti biasa. Entah karena Gera tidak tau apa itu skizofrenia atau cowok itu benar-benar tidak peduli. Persetan saja, karena yang jelas mengetahui Gera tidak menjauhinya saja Biru sudah sangat bersyukur.
Biru tidak gila.
Ibu bilang, semua anak-anaknya akan selalu waras dimatanya.
Sekalipun ... dia sudah membunuh salah satu adiknya?.
Haha, konyol sekali.
Apa mungkin bisa begitu?. Entahlah, Biru sudah tidak bisa mempercayai siapa pun lagi. Karena selama ini, bahkan Ibu dan Gera, tidak tau segelap apa kegelapan yang sudah lama menggungkungnya.
Hanya karena skizofrenia bukan berarti dia gila. Hanya saja, itu menjadikannya sedikit berbeda. Lagi pula, dia tidak bisa memilih. Terkadang memang begitu sulit membedakan mana halusinasi dan mana kenyataan.
Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia mengalaminya lagi hingga saat ini bayangan menyeramkan itu kembali lagi.
Bisikan-bisikan itu entah kenapa selalu dapat menguasai dirinya.
Seperti perintah tak terbantah, seperti tidak ingin mangsanya lepas.
Bisikan itu ... terlalu menakutkan.
Seperti saat ini. Duduk menekuk lututnya sendiri di sudut gelap kamar yang lampunya sengaja tak di nyalakan dan pintu kamar terkunci. Dia ketakutan. Tapi dia tidak ingin lampunya di nyalakan, alasannya karena dia tidak suka ada satu orang pun bisa masuk dan melihat dia begitu lemah seperti sekarang.
Sudah pukul dua pagi, tapi dia masih belum bisa menutup matanya untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya yang begitu letih setelah beraktivitas seharian. Pasalnya, dengan tanpa permisi bisikan itu kembali lagi.
Sebenarnya, beberapa hari ini dia sudah berhenti meminum obat-obatnya.
Mau bagaimana lagi, terkadang muak juga kalau harus meminum obat-obatan yang sama untuk jangka panjang tanpa batas waktu yang jelas. Atau mungkin, Biru akan terus meminum obat seumur hidupnya. Seolah tanpa obat dia akan mati.
Mati.
Padahal itulah kenyataannya. Untuk mempertahankan kewarasannya, Biru harus meminum obat-obat yang di resepkan dokter setiap saat.
"Pembunuh... "
Biru menurup rapat-rapat kedua telinganya dengan tangan saat bisikan lembut itu kembali terdengar.
Biru terdiam.
"Kenapa? Kenapa kamu bisa sejahat itu?"
Biru gemetar, kedua tangannya menutup kedua telinganya erat hingga memerah.
Bisikan anak perempuan itu menghilang tiba-tiba.
Dadanya naik turun.
Sudah lama, tapi kenapa bisikan itu harus datang sekarang!.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik.
Teen FictionKatakan atau diam? Semua orang menganggapnya gila. Apa yang bisa dia lakukan? Mengeluh? Sudahlah, dia sudah sangat bosan. Menangis? seandainya dengan itu bisa membuat semuanya lebih mudah. Mengakhiri? Ya, sepertinya itu bisa di pertimbangkan. Mung...