Hujan

49 9 4
                                    

Butuh waktu hampir tiga puluh menit untuk Rain merenungi perkataan sahabatnya. Menjawab banyak pertanyaan yang sering singgah di benaknya, apakah Rain benar-benar mengalami kelainan?

Gadis pemilik nama berartikan hujan itu memandang lurus jalanan sepi di hadapannya dengan tatapan kosong. Tubuhnya masih setia duduk di sebuah ayunan pada taman bermain kecil di area perumahannya beratapkan langit malam. Menikmati semilir angin yang menerpa lembut, menyisakan rasa sejuk diakhiri bangkitnya bulu-bulu halus di permukaan kulit putihnya.

Semua beban pikirannya ini berawal ketika tadi siang Rain menceritakan keadaan hatinya kepada Indah, sahabat karibnya. Rain berkata bahwa Rain mencintai Langit, laki-laki yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Bersaksi bahwa hatinya merasakan sesuatu yang berbeda ketika berdekatan dengan pria dua puluh enam tahun itu sejak dirinya masih berusia sepuluh tahun. Rain bahkan berani bersumpah jika ia mengatakan hal yang sebenarnya ketika Indah menuduh gadis berhidung bangir itu tengah berbohong dan membuat lelucon.

Sejak Rain kecil, gadis itu memang lebih dekat dengan Langit ketimbang kedua kakaknya yang lain. Meski selisih usia diantara keduanya terlampau cukup jauh tapi Langit selalu menghabiskan waktu dengannya. Bermain bersama, menajaganya, bahkan tidur bersama. Hingga saat Rain berusia sepuluh tahun, gadis itu berujar bahwa ia mencintai Langit. Mungkin perkataan sederhana itu masih bisa ditertawakan sembilan tahun lalu, lucu ketika seorang gadis kecil menyatakan perasaannya pada kakak laki-lakinya sendiri. Tapi jika sampai hari ini Rain masih tetap teguh pada pernyataannya di masa lalu, itu sudah bukan candaan yang bisa membuat semua orang tertawa, itu dianggap sebagai kelainan.

"Rain lo gila, Kak Langit tuh kakak lo, lo benar-benar kelainan"

Rain mencebikkan bibirnya, perkataan itu terdengar sangat menyinggung hatinya. Bagaimana bisa Indah mengatai dirinya kelainan bahkan ketika Rain merasa bahwa ia baik-baik saja. Kata-kata itu terus membekas di kepalanya. Membuat hati gadis berstatus mahasiswi itu gelisah dan resah. Meski ia benci dikatai kelainan tapi ia juga yakin jika ada sesuatu yang salah.




Bagaimana bisa Rain mencintai kakak laki-lakinya sendiri?





















"Rain, ngapain disini?"

Rain hampir saja terjungkal kebelakang jika saja tangannya tidak dengan sigap mencengkram pada pegangan ayunan. Jantungnya berdebar, kakinya seolah tidak menapak. Suara berat itu tiba-tiba menusuk gendang telinganya, mengejutkan tubuhnya yang tengah berlarut-larut pada pikirannya.

"Kak Baron!" Gadis berkuncir tersebut sedikit berteriak ketika mendapati kakak sulungnya tengah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana.

"Bukannya pulang malah nongkrong disini, di culik wewe gombel tahu rasa" Rain menatap pria yang lebih tua sembilan tahun darinya itu tidak suka. Kedua alisnya menukik, ia benar-benar kesal. Rain paling kesal ketika di kejutkan kecuali saat ulang tahun.

"Kak Baron kira aku anak kecil?!" sahutnya bernada kesal.

"Emang anak kecil, kamu yang paling kecil diantara kita semua, Kakak ingatin kalau kamu lupa"  Rain mendengus kasar, lagi-lagi kakaknya itu menganggap dirinya anak kecil. Ingin rasanya gadis berkulit putih itu meneriaki pria dihadapannya dengan berkata bahwa dirinya sudah dewasa.

"Ayo pulang" Rain berdiri, menhentakan kaki kanannya sekali, benar-benar masih seperti bocah.

"Ya udah"

Gadis bersurai panjang itu berjalan mendahului yang lebih tua. Suasana hatinya yang sudah tidak baik menjadi lebih sensitif. Merasa kesal dan marah hanya karena sedikit gangguan.
























Langit dan Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang