•"Nggak perlu buru-buru, yang penting kalian saling kenal dulu"
Bimo dan Andre tampak bersemangat membicarakan rencana pertunangan ini tanpa peduli apakah Langit benar-benar menginginkannya atau tidak. Seolah dalam pertunangan ini Langit hanya perlu melakukannya tanpa perlu memberi persetujuan maupun pendapat. Cinta mungkin bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, tapi melepas rasa cinta yang Langit miliki di masa lalu juga masih butuh waktu. Pemuda itu tidak benar-benar melepaskan 'Dia' nya.
"Bagaimana kalau Langit dan Hera sekali-kali menghabiskan waktu bersama, dinner atau mungkin yang lain?"
Langit menatap Andre tidak suka, kini ayahnya itu malah mengusulkan hal semacam dinner berdua untuk dirinya. Ia geram sekali, rasanya ingin membantah lalu menolak Andre saat itu juga.
"Sepertinya ide bagus, kalian bisa jadi lebih kenal satu sama lain, bagaimana Hera?" Hera, putri sulung Bimo itu hanya mengangguk seraya tersenyum sebagai persetujuan. Gadis itu sepertinya sepakat dengan pertunangan ini, sedari tadi ia tak melunturkan senyuman di wajahnya.
"Kalau kamu Langit?"
Sudah hampir satu jam lamanya Rain duduk di sebuah halte kosong bertemankan riuhnya suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. Wajahnya sembab dan menyedihkan. Pikirannya melayang jauh memikirkan Langit, apakah kini Langit tengah bahagia merencanakan pertunangan dengan gadis yang Rain sama sekali tidak kenal?
Satu tetes lagi air mata yang meluncur bebas menuruni pipi lembabnya. Rain ingin berhenti, tidak ingin menangis lagi, tapi tidak bisa. Memikirkan ia yang sebentar lagi harus mengikhlaskan Langit terasa begitu menyiksa.
Sekali lagi, Rain tidak pernah menyesal mencintai Langit. Ia hanya kecewa mengapa Langit dilahirkan sebagai kakak laki-lakinya.
Rain menyeka air matanya, menghela nafas panjang sebelum kemudian beranjak dari sana. Tampak ponselnya bergetar sedari tadi, menandakan ada beberapa panggilan masuk. Ia yakin pasti orang rumah sudah mencarinya.
Rain melihat pantulan wajahnya melalui kamera depan ponselnya. Tidak terlalu buruk untuk pulang sekarang. Matanya sembab tapi sepertinya tidak terlalu terlihat jika sekilas. Ia masih bisa menutupinya dengan surai panjangnya. Rain juga yakin Langit maupun orang tuanya masih belum kembali.
"Kak, mau kemana?"
Baron yang baru saja memasuki rumah lima belas menit yang lalu kini sudah bersiap ingin pergi lagi. Laki-laki itu bahkan masih mengenakan kemeja lengkap dengan dasinya.
"Mau nyari Rain, Kakak telfon nggak diangkat"
"Bi kira dia udah pulang dari tadi"
Baron meraih kunci mobil yang beberapa saat lalu ia taruh di meja, ingin segera membawa pulang adik bungsunya.
Baru saja Baron keluar dari rumah, dilihatnya Rain yang tengah menutup pintu pagar. Rain terlihat lemas sekali, gadis itu berjalan dengan kepala menunduk. Baron kini bisa bernapas lega, setidaknya Rain sudah pulang ke rumah. Untuk urusan kenapa adiknya itu lesu bisa ia tanyakan lagi nanti.
"Rain, kenapa baru pulang?"
"Maaf Kak" Rain tidak melihat Baron sama sekali ketika dirinya berbicara. Ia takut Baron menyadari kalau dirinya habis menangis. Laki-laki itu sangat peka.
"Setidaknya kabarin Kakak atau yang lain kalau kamu pulang telat"
"Maaf tadi hp nya aku silent"
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Hujan
Teen FictionBagaimana jika cinta pertamamu adalah kakak laki-lakimu sendiri? "Jika mencintaimu adalah kesalahan, maka menjadi benar bukanlah sesuatu yang kuharapkan"