Rasa sakit

15 6 5
                                    


"Kak Langit aku nebeng ya?"

Rain menatap penuh harap pemuda yang tengah menyantap roti isi selai di depannya. Melafalkan doa dalam hati supaya Langit mengiyakan permintaannya.

"Nggak bisa, Kak Langit mau berangkat bareng aku" Bianca menyela, bahkan sebelumnya Langit dan Bianca tidak ada kesepakatan untuk berangkat bersama.

"Terus kenapa kalau aku nebeng, mobilnya kan masih muat" Rain bersunggut-sunggut, pagi-pagi ia sudah dibuat kesal oleh Bianca. Gadis yang berusia empat tahun lebih tua darinya itu selalu saja mencoba menjauhkan Rain dengan Langit. "Lagian arah kantor Kak Bi sama Hotelnya Papa kan beda, Hotel sama kampus aku satu arah, jadi Kak Langit harusnya nebengin aku bukan Kak Bi"

"Nggak peduli, pokoknya Kak Langit hari ini mau anterin aku" Rain berdecak kesal, ia jengkel sekali, bahkan saking jengkelnya rasanya Rain ingin menangis.

"Udah udah, kok malah berantem" Maria menengahi, tidak enak rasanya awal hari sudah di mulai dengan ucapan bernada tinggi "Biarin aja Rain bareng sama Langit, toh memang kampus Rain searah sama Langit, kamu kan bisa bawa mobil sendiri Bi"

"Nggak bisa Ma, Bi mau berangkat bareng Kak Langit hari ini" Rain memutar bola matanya malas, bilang saja ingin menjauhkan Langit dan Rain, batin Rain sebal.

"Ya udah lah, aku berangkat dulu" Rain beranjak dari duduknya, dua lembar roti yang terletak rapih di piringnya ia anggurkan begitu saja. Ia segera menyalami kedua orang tuanya, ingin bergegas pergi tidak mau berlama-lama menyaksikan Bianca yang keras kepala dan menjengkelkan.

"Mama buatin bekal ya Rain?"

"Nggak usah Ma, aku berangkat dulu"

Rain keluar dari rumah dengan wajah masam, kecewa sekali dengan pagi ini. Ia bahkan menutup pintu pagar rumahnya dengan kasar sehingga menimbulkan dentuman cukup nyaring.

Rain terbiasa berangkat kuliah dengan taxi atau bus, itu mengharuskan dirinya berjalan keluar komplek sampai ke jalan raya. Sesekali ia akan menghentakkan kakinya, meluapkan kekesalahannya.

Gadis itu juga menirukan perkataan Bianca dengan nada mengejek. Mengepal kuat-kuat, rasanya ingin menonjok orang saat itu juga.

Rain tersentak, ia hampir saja meloncat ketika suara klakson mobil memekakan telinganya. Jantungnya serasa ingin pindah.

Rain kemudian menoleh, berniat mengumpati sang pengendara namun secepat kilat ia urung. Dilihatnya Langit yang duduk di kursi kemudi seraya tertawa kecil. Saking kesalnya Rain bahkan tidak sadar jika sedari tadi sebuah mobil mengikutinya kemudian berhenti tepat di sampingnya.

"Ayo Kakak antar" Rain mengangguk semangat, tidak mengira jika pagi ini Langit benar mengantarnya. Ia pikir satu hari ini ia akan mendapat suasana hati yang buruk, Rain pikir juga Langit benar mengantar Bianca ke kantor.

Setelah Rain keluar dari rumah tadi, Langit bergegas menyelesaikan sarapannya kemudian hendak segera menuju Hotel milik keluarganya. Tepatnya hendak segera menyusul Rain.

Bianca membatalkan keinginannya untuk ikut bersama Langit. Niat Bianca tadi hanya ingin menjauhkan Langit dan Rain, supaya Rain sedikit demi sedikit bisa membuang perasaan tidak wajar itu. Hanya saja, Rain tetap adik perempuan Langit, melihat Rain yang seolah kecewa dan kesal membuatnya tidak tega.

Pagi itu akhirnya Rain diantar menuju kampusnya oleh Langit.  Sepanjang perjalanan, Rain tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati. Kapan lagi Langit bersedia mengantarnya. Saat di rumah pun laki-laki itu lebih sering menghindarinya. Ia akui semua itu sebab dirinya, tapi Rain juga tidak bisa menahan hatinya untuk tidak menyukai Langit.




























Langit dan Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang