"Jika kamu mencoba bertanya dengan baik-baik, pasti jawaban yang kamu dapat akan baik juga. Namun, jika kamu bertanya dengan emosi, maka bukanlah jawaban yang kamu dapatkan, tetapi hanyalah kesalahpahaman yang semakin membesar."
🍬 - Kata Kita - 🍬
°°°°°°
Moka sedari tadi tak henti-hentinya berjalan kesana kemari di kamarnya. Antara takut dan penasaran, ia kembali menatap layar ponselnya yang terpampang jelas chat dari someone.
Moka harus balas apa ya?
Setelah meyakinkan dirinya, Moka membalas pesan itu.
To : Unknown
"Moka sebentar lagi keluar, kamu masih di sana?"
Tanpa menunggu lama, Moka langsung mendapatkan balasan.
From : Unknown
"Gue masih di sini, Lo cepetan keluar."Tanpa berlama-lama, Moka segera mengganti pakaiannya dengan hoodie. Tak lupa mengganti pula celana tidurnya dengan celana biasa.
Saat dirinya membuka pintu, terlihat seorang remaja sedang duduk di kursi membelakanginya.
"Kamu ..."
Remaja itu menoleh, ia tersenyum di balik maskernya.
"Duduk dulu?" tawarnya.
Moka mengangguk, ia ikut duduk di sebelah remaja itu.
Perlahan remaja itu membuka maskernya, ia kembali tersenyum dan menoleh ke arah Moka.
"Hah?!"
°°°°°°
Pagi ini Moka melaksanakan rutinitasnya seperti biasa. Ia berangkat lebih awal karena ada pr yang lupa ia kerjakan semalam.
Dan ... walaupun semua orang sudah tidak lagi membencinya, tidak ada perubahan yang terjadi dengan kedua sahabatnya. Mereka berdua tetap bersikap dingin padanya.
Entah apa yang sedang mereka lakukan, Moka hanya bisa berdoa agar hubungan yang ia bangun selama belasan tahun kembali utuh.
"Pagi kak Moka," sapa salah satu siswi yang melintas. Moka menoleh, ia tersenyum sambil melambaikan tangannya.
"Aaa kak Moka manis deh ...," puji gadis itu sebelum akhirnya ia berlari kecil menghampiri temannya yang sudah berjalan jauh mendahuluinya.
Moka terkekeh geli melihat tingkah gadis tersebut, lalu kembali meneruskan langkahnya menuju kelas.
"Pagi Moka," sapa salah satu siswi saat Moka memasuki kelasnya.
"Pagi," balas Moka sambil tersenyum. Ia meletakkan tasnya di atas meja, sebelum ia duduk, ia kembali menatap sendu kursi di sebelahnya.
Dia pergi, lagi.
Moka mencoba melupakan kejadian itu, apalagi beberapa hari yang lalu sang unknown mendatangi dirinya, memberi tahukan semua kebenaran yang terjadi dalam hidupnya.
Apalagi, dia membawa semua bukti yang bahkan dirinya atau keluarganya tidak tau. Mungkin saja ....
Moka mulai membuka tasnya, mengambil beberapa buku yang ia perlukan. Jari lentiknya menari-nari di atas lembaran kertas yang masih bersih.
Tugas kali ini, hanya perlu meresum materi fisika satu bab beserta menjawab 5 soal essay. Hal ini sudah biasa baginya.
Tidak perlu waktu lama, tugas yang seharusnya ia kerjakan di rumah itu kini sudah selesai.
Brakk!
"Hayo! Ngapain?" Seru Bunga sambil menggebrak meja.
Moka hampir saja akan melemparkan bolpoin miliknya ke wajah Bunga, kalau saja Bunga tidak berhasil menangkapnya.
"Suka banget ya ngagetin ... mau Moka kelitikin lagi hm?" Moka menatap Bunga jahil. Dia sudah bersiap akan menghujani Bunga dengan kelitikan mautnya.
Sedangkan yang di tatap hanya cengengesan. Bunga mengangkat jari tengah dan telunjuk membentuk v sebagai tanda damai.
"Oiya, tumben Bunga berangkat lebih pagi."
Bunga memutar bola matanya malas, "Berangkat pagi dibilang tumben, berangkat siang dibilang kebo. Dasar warga plus enam dua." Ucapnya kemudian.
Sedangkan Moka, ia berpura-pura kembali menulis sesuatu di bukunya. Mencoba mengabaikan Bunga yang berbicara cepat layaknya kereta api yang melaju di atas relnya.
Tuh kan! Ngeselin emang.
°°°°°°
"Bunga,"
"Hm?"
"Udah beberapa hari ini, kayaknya Moka nggak pernah lihat Flo lagi. Dia kemana, ya?"
Bunga menghentikan aktivitas makannya, mengunyahnya lalu ia telan.
"Mana gue tau, already dead?"
"Hush! Kok Bunga ngomongnya gitu?"
Bunga memutar bola matanya jengah, "Ya abisnya ... kayak nggak ada pertanyaan lain aja. Mungkin lagi ada urusan kali, biarin dah."
Moka menghela nafas, lalu mengangguk. Mereka berdua kembali ke aktivitas makan yang sempat tertunda.
"Moka," panggil seseorang.
"Kalian? Ada apa?" Moka menoleh, ia sedikit tersentak melihat kehadiran sosok yang sudah sangat jarang ia temui. Ya, mereka Stefano Fairuz Reynand dan Arunzi Fidelyo Abqari.
"Bisa ikut kita, sebentar?"
Moka menoleh ke arah Bunga, ia mendapatkan anggukan, yang berarti tandanya iya.
"Moka tinggal dulu,ya?"
Bunga mengangguk sekali lagi, "Kalau ada apa-apa bilang sama gue." Tegasnya.
"Siap!" Seru Moka. Ia beranjak dari sana, mengikuti remaja yang memanggilnya tadi.
°°°°°°
Mereka kini sudah berada di taman belakang sekolah. Ketiganya sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Jadi ... apa yang mau kalian bicarakan?" tanya Moka to the point.
Arun dan Stef saling tatap, lalu Stef memberi kode jika Arun duluan yang akan bicara.
"Jadi gini, sebenarnya ada hal serius yang mau kita bicarain-
"Tumben kalian serius." Ketus Moka sambil menatap mereka curiga.
"Bukan git-
"Oh iya! Moka tau, kalian udah pada siap mau nikah ya? Jadinya pada serius gini. Iya, kan?" Celetuk Moka asal.
Arun mengusap wajahnya kasar, mereka tidak punya waktu lama atau mereka akan mengetahuinya.
Ia menatap Moka yang sedang tertawa, dalam hati ada rasa bersalah pada gadis mungil yang ia sayangi ini.
"Moka, dengerin gue." Tegas Arun kemudian.
Mendengar nada Arun yang terdengar tidak main-main, Moka menghentikan tawanya.
Wajah Arun terlihat lebih serius, tatapannya pun tajam.
"Ma-maafin Moka ...," ungkap Moka terbata-bata.
"Sekarang dengerin gue, ya?"
Moka mengangguk sebagai jawaban, ia mulai mendengarkan penjelasan dari Arun.
°°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are Best Friend! [ Telah Terbit ]
Teen Fiction[ TELAH TERBIT ] Versi Cetak dan Wattpad, berbeda :') PLAGIAT DILARANG UNTUK MENDEKAT! USAHAKAN UNTUK SELALU MENINGGALKAN JEJAK ⭐ DAN KOMEN HEHEW :3 Judul awal : SMA ***** "Oh, jadi ini orangnya." "Biasa aja tuh, cantikan juga gue!" "Songong banget...