Pagi yang santai di hari ini di mana si papa muda sedang fokus pada cekatan tangannya mencampur bumbu-bumbu ke dalam salad sayur yang akan dia gunakan sebagai isian sandwich. Saus alpukat plus perasan air lemon sudah lebih dahulu dia siapkan berikut dua pasang roti dipanggang setengah kering. Sementara, istrinya duduk tak jauh dari dia, masih di meja yang sama sedang menyuapi putri kecil kesayangan mereka.
"Hun, lihat putrimu! Dia menghabiskan asparagus di tangannya." Hinata tak bisa menutupi kegembiraannya ketika menjumpai sensor motorik putrinya berkembang pesat.
"Anak Papa senang makan sayur, ya?!" Seketika Naero menengok ke mereka, mengulas senyuman yang selalu berhasil meningkatkan elok rupanya. "Kalau dibiasakan perlahan-lahan pasti dia suka."
"Yah, pertumbuhannya sangat bagus. Aku senang dia tidak mengalami hambatan apapun--tadinya aku berpikir akan ada masa sulit di sela-sela pertambahan usianya."
"Anakmu cerdas, sayang. Dia jarang sekali menangis."
"Tidak ada bayi yang akan menangis jika orang tuanya seperti kamu."
"Terima kasih, aku mengakui pujian itu." Sekejap sepasang alisnya naik mengimbangi sudut-sudut bibir yang mengembang. Ini bertepatan dia baru saja menuntaskan sajian sandwich-nya. "Kamu mau pistachio-mu, sayang?"
"Uhm, taburkan lebih banyak."
"Akan aku tambahkan—segelas susu?"
"Tidak."
"Oke, baiklah. Kita bisa segera makan jika anakmu sudah selesai."
"Hampir," sahut Hinata seraya dia menyuapkan sendok-sendok terakhir dari sup kentang yang dihaluskan bersama ikan salmon tersebut.
"Aku belum bilang, ya--"
"Bilang--apa?!" Kening Hinata berkerut menunggu sambungan kalimat suaminya.
"Kemarin aku bertemu Roseanna di supermarket, di meja kasir."
"Ah, lalu?"
"Kita saling sapa, menanyakan kabar, yah seperti umumnya perjumpaan teman lama. Dia juga mengajakku hangout di lain waktu, berbincang-bincang mengenai pernikahan."
"Dia ingin mewawancaraimu soal kehidupan setelah menikah? Apakah itu perlu?"
"Bukan begitu, sayang--"
"Mungkin saja dia mengharapkan kenyataan berbeda dari ceritamu. Contohnya, memikirkan kamu tidak bahagia dan dia bisa kembali mencoba masuk ke dalam lingkaranmu."
"Hei, calm down, please! Tidak ada hal seperti itu. Dia hanya bingung dengan rencana pernikahannya. Dia ditentang keluarganya. Aku kira Roseanna hanya menduga bahwa akulah satu-satunya yang bisa mendengarkan dia."
"Alasan klise. Fine, I don't want to be the bad human here. Kamu boleh pergi. Tapi, aku mau itu merupakan pertemuan terakhir. Kamu tahu seburuk apa mantanmu itu 'kan? Aku tidak suka seseorang yang berpotensi merusak keutuhan keluargaku menyelinap seenaknya."
"Ya Tuhan, jangan semarah itu!" Naero buru-buru menghampiri dan duduk di belakang istrinya usai menarik kursi kosong sejajar. "Cukup katakan tidak dan aku akan membatalkannya. Suasana di pagi ini sungguh luar biasa 'kan? Kita baru saja merayakan perkembangan Sunny, tidak pantas perkara sepele merusak segalanya. Apa kamu berpikiran sama denganku, sayang?" Lipatan detik sekian, Hinata mengangguk-angguk sembari memejamkan matanya. Cukup menyesali responsnya kepalang berapi-api. Dia kerap terpancing setiap kali mantan kekasih Naero mengisi perbincangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remake It to Me
FantasyBekerja sebagai pustakawan tentu menempatkan Hinata ke dalam tumpukan berbagai jenis buku. Profesi tersebut dia pilih tak semata-mata disebabkan hobi membaca. Dia menyukai kesunyian/privasi. Melalui buku-buku di perpustakaan dia berkelana mengelilin...