Bab 1

2.6K 73 0
                                    

Pertama kali saya dengar cerita ini dari sebuah pesan DM di twitter. Seorang perempuan yang ingin bercerita tentang pengalamannya saat ia pertama kali bersentuhan dengan penghuni di dalam rumahnya. Awalnya saya tidak tertarik, bagi saya sendiri setiap rumah pasti ada penghuninya.

Namun saya tetap antusias untuk mendengarkan ceritanya, satu persatu kepingan ingatan yang pernah ia alami, ia ketik dalam pesan pendek email dan saya baca satu persatu, masih belum tergugah dengan ceritanya hingga mata saya berhenti pada satu titik kalimat yang membuat saya tiba-tiba begitu tertarik.

Satu kalimat yang seakan merubah presepsi saya pada sebuah cerita rumah berpenghuni yang klise karena apa yang akan kalian baca ini bukan sekedar cerita hantu melainkan sebuah cerita yang benar-benar akan menjadi salah satu cerita paling berkesan teruntuk saya sendiri.

"Sorop"

Itu adalah ketikan kalimat yang membuat saya tiba-tiba berpikir untuk menemuinya, berbicara langsung dengan kontributor saya dan di sini peristiwa itu akan saya ceritakan sedetail mungkin.

Cerita tentang tenggelamnya matahari dan membangunkan mereka semua.

Butuh waktu 5 jam untuk sampai ke kota kontributor saya, berbekal lokasi tempat kita berjanji yang tiba-tiba di batalkan karena beliau ingin saya melihat langsung rumahnya. Saya tidak keberatan karena saya juga ingin melihat rumah yang akan saya ceritakan nanti.

Sampailah saya di rumah itu.

Hal pertama yang saya rasakan tentang rumah itu tidak berbeda jauh seperti rumah kebanyakan hanya saja rumah ini memanjang di bandingkan meluas dengan tatanan pintu kamar di satu lorong panjang yang langsung menuju pawon (dapur).

Saya duduk dan memandang kontributor saya. Rumah ini hangat tidak sedingin yang dia ceritakan, dan ekspresi wajah kontributor saya hanya tersenyum sembari mengangguk sebelum ia berbicara pelan, sangat pelan nyaris membuat saya membungkuk untuk mendengarkan,

"Mereka di sana"

Kontributor saya menunjuk satu pintu. Benar saja, ada satu pintu yang terlihat menggelitik saya karena hanya pintu itu yang memiliki geligik seakan pernah di bakar sebelumnya. Kayunya sudah rapuh namun di gembok dengan kuat.

"Itu adalah kamar pak de yang saya ceritakan mas"

seketika bulukuduk saya berdiri, mungkin karena saya sudah mendengar cerita ini sebelumnya dari email yang kontributor saya kirim.

"Pak de mu sing iku"

("Pak de kamu yang itu") kata saya dan dia mengangguk.

Saya mengangguk berusaha mengerti.

Satu jam saya menunggu di rumah itu. Berbicara dan bertanya banyak hal dan dia menjawabnya sesuai dengan email yang ia kirim, terbesit pertanyaan yang pasti keluar terlebih bila seseorang mengalami gangguan hingga sesinting itu.

"Lapo gak di dol ae omahe mbak?"

("Kenapa gak di jual aja Mbak?")

Kontributor saya hanya menunduk. Tepat setelah saya bertanya itu ia langsung menunduk seakan pertanyaan saya gak sepantasnya dipertanyakan, tentu saja saya sendiri menyesal karena saya spontan dari rumah yang awalnya bagi saya biasa saja namun perlahan mampu membuat bulukuduk berdiri.

Untungnya, perempuan lain yang saya tunggu datang. Ia melihat saya dan setelah tahu siapa saya dia langsung duduk tanpa mengembalikan tasnya terlebih dahulu ke kamar. Dia menatap saya ragu sebelum mulai mengatakan kepada saya bahwa cerita yang kakaknya ketik tentang rumah ini benar adanya.

Semua itu di mulai saat....

"Pak de kulo pejah"

("Paman saya meninggal")

SOROPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang