Bab 9

1.6K 66 7
                                    

Wanita tua itu meminta Hanif menceritakan kembali semuanya, Hanif tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan sampai akhirnya Hanif teringat sesuatu,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wanita tua itu meminta Hanif menceritakan kembali semuanya, Hanif tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan sampai akhirnya Hanif teringat sesuatu,...

"SOROP" dan Hanif bisa melihat tangan si lelaki tua gemetar hebat mengenggam tongkatnya, si wanita tua berusaha menenangkannya.

Lelaki tua yang sebelumnya dibantu oleh tongkat untuk berjalan itu tiba-tiba bisa berdiri seperti orang normal, sementara isterinya terus menenangkan dirinya,

"Sabar pak, sabar"

"Melok aku nduk"

("Ikut aku nak") kata si lelaki tua, suaranya lebih dingin dari sebelumnya, Hanif merinding melihatnya.

Dari balik tirai, perempuan yang membukakan pagar tengah mengintip, wajahnya terlihat cemas, entah apa yang terjadi sebenarnya di sini Hanif tak bisa menafsirkan keadaan di dalam rumah ini apalagi di luar sebentar lagi Sorop akan tiba.

Badan tiba-tiba gemetar, angin dingin merasuk kedalam sukma paling dalam saat Hanif berjalan mengikuti dua sosok manusia asing yang baru dia kenal sedang berjalan perlahan-perlahan masuk semakin jauh ke dalam lorong rumah tua itu. Suasananya lembab, tercium aroma tak menyenangkan.

Semakin ke dalam, rumah itu terasa semakin lembab, dan seperti rumah Hanif, rumah itu benar-benar memanjang dengan ubin semen dan pintu-pintu kamar yang berwarna gelap,... Beberapa sudut di genangi oleh air yang seolah-olah dibiarkan begitu saja.

Hanif ragu, ia ingin bertanya kemana dia akan di bawa namun bibirnya keluh hanya bisa mengekor sembari mendengar gema suara langkah kaki mereka saat sedang berjalan. Pelan-pelan, dari jendela-jendela di kanan kiri kamar, Hanif seperti melihat sosok yang ia kenal, terasa familiar.

Bayangan itu semakin banyak, mulai dari sosok jangkung berdiri disamping jendela, melotot melihat Hanif yang membuang wajah, ia menunduk, dingin. Dingin, sekali.

"Gak usah dipekso ndelok nduk, wes ngadep ngarep wae"

("Tidak usah dipaksa melihat nak, sudah lihat kedepan saja")

Setelah lama berjalan, sampailah Hanif di depan sebuah pintu cokelat yang diukir dengan motif batik jawa tengah,... Ukirannya indah, kokoh terbuat dari bahan kayu jati,...

Namun, yang membuat Hanif merasa aneh ialah, di kiri kanan pintu terdapat bambu kuning yang diikat dengan sulur dari daun kelor, melingkar mengikuti tiang pintu penyangga.

Si wanita tua meragoh kantung bajunya, sementara si lelaki tua hanya berdiri, memandang kosong kearah pintu,...

Saat segelincing kunci perak kusam itu menyentuh lubang dan membuka pintu besar itu, Hanif mendengarnya.

Suara seorang wanita yang tengah menangis. Suaranya familiar, suara yang sudah lama tidak ia dengar, suara orang yang ia kenal.

Suara bu De...

Hanif berjalan mendekat, melewati dua orang tua itu yang masih berdiri memberi ruang untuk Hanif,... Di sana, Hanif melihatnya dengan mata kepala sendiri, bu De tengah duduk di atas ubin dengan kaki dipasung, sementara dua tangannya terentang diikat oleh seutas tali tampar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SOROPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang