Tubuh kecil itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Alisnya berkerut dengan ekspresi yang tidak nyaman tercetak jelas di wajahnya. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya hingga kemudian kelopak yang menyimpan dua manik kecoklatan itu terbuka dengan sentakan hebat. Napasnya tersengal, berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. Namun tampak sia-sia karena tenggorokannya seolah tersekat tanpa mampu dilalui sedikitpun udara.
Mimpi itu kembali.
Ia mencengkeram surai hitamnya dengan kuat, matanya terpejam erat, berusaha mengusir rasa sakit yang mendera kepalanya begitu hebat. Perutnya bergolak bagai diaduk dan diremas dari dalam. Dengan langkah sempoyongan, ia bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi yang terletak di samping kamar tidurnya.
.
.
.
***
.
.
.
Jarum jam menunjukkan pukul 4.20 dinihari saat Chan memasuki dorm. Usai meletakkan sepatunya di rak, ia melangkah gontai ke kamar. Ia harus tidur sebelum kembali melakukan rutinitas bersama rekan satu grupnya esok –oh bukan, pagi nanti.
Niat itu seketika buyar kala mendengar suara gemericik dari kamar mandi. Chan yakin adik-adiknya sudah terlelap sejak kembali dari dorm pukul 2 tadi. Ia harus memastikan siapa yang masih atau sudah terjaga di pagi buta seperti ini.
Mungkin Minho atau Felix.
Tok! Tok!
"Siapa yang di kamar mandi?"
Tak ada sahutan, tetapi suara gemericik itu berhenti. Nyaris saja pintu itu kembali diketuk jika benda itu tidak terbuka perlahan dan menampilkan sosok yang sama sekali jauh dari ekspektasinya.
"Changbin?"
Sosok itu hanya terdiam mendengar terguran Chan. Chan resah, tidak biasanya Changbin seperti ini. Apalagi keadaannya bisa dikatakan sangat berantakan dan jauh dari kata baik-baik saja.
"Changbin, kau tidak apa-apa?" Tak ada sahutan dari pertanyaan yang sarat akan kekhawatiran tersebut. Lagi-lagi bilah tipis nan pucat itu terkatup rapat. Changbin malah mengalihkan pandangannya dari tatapan manik kelam milik Chan yang menuntut jawaban.
"Duduklah. Aku buatkan coklat panas untukmu."
Chan menyerah. Ia memilih untuk membawa Changbin ke ruang tengah. Mendudukkan pemuda mungil itu disana sebelum ia ke dapur dan membuat coklat panas seperti yang telah ia janjikan.
Sepeninggal Chan, Changbin menatap visualisasi di hadapannya dengan pandangan kosong selama beberapa saat, sebelum ia menarik kakinya dan memeluknya dengan erat. Rentetan mimpi buruk yang berusaha dienyahkan dalam kepalanya, secara tiba-tiba kembali hadir dan menghantuinya. Tubuh mungil itu bergetar menahan tangis.
Tidak. Ia tidak boleh terlihat lemah.
Namun siapapun bisa melihat keadaannya yang sangat menyedihkan. Bibirnya menyungging senyum getir, seolah merendahkan dirinya sendiri.
Cih, memang pecundang menyedihkan!
Chan yang hendak kembali ke ruang tengah, mendadak menghentikan langkahnya kala melihat Changbin yang tampak rapuh, dengan tubuh bergetar perlahan. Perlahan ia menghampiri yang lebih muda dan menyentuh bahunya. Namun reaksi yang didapat membuat leader Stray Kids tersebut terrkejut. Changbin tersentak dan langsung berdiri ketakutan.
"Kau baik-baik saja? Maaf aku tidak bermaksud mengejutkanmu."
Changbin terdiam kaku, seolah kehadiran sang leader adalah sebuah ancaman untuknya. Lidahnya seolah kelu dan tubuhnya gemetar hebat. Tanpa disadarinya, kini tubuhnya telah direngkuh dalam dekapan hangat Chan yang mengelus-elus punggungnya perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Depression || S. Changbin
FanfictionSemua ketakutan yang tersimpan dengan rapi dengan tidak tahu malunya kembali muncul ke permukaan, membawa semua luka yang telah kucoba untuk tahan selama ini, memanifestasikan diri menjadi sebuah depresi yang menggerogoti secara perlahan. Sanggupka...