hujan

3.6K 259 12
                                    

Gadis side

Aku membuka pintu apartment ku perlahan, setelah percakapan yang tak menemui jalan kelur dengan alya. Aku memutuskan untuk meninggalkan nya. Memberinya ruang untuk berfikir sendiri. Dan memberi ruang untuk ku juga.

Sebuah sosok terlihat tertidur di sofa ku. Wajahnya tampak lelah, ntah berapa lama ia menungguku disini. Untuk kali pertama rasanya aku ingin memeluknya erat dan mengucapkan ribuan maaf karena perbuatan kejamku padanya. Namun sisi hatiku yang lain melarang aku untuk melakukannya.

Aku pun melangkah menjauh lalu membuka pintu kamarku perlahan berharap tidak membangunkannya dari lelah nya namun gagal.
Ia terbangun, duduk perlahan dan memanggil namaku.

"Finally you home" ujarnya kemudian.

Aku memicingkan mataku lalu menarik napas sebentar mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin oksigen yang entah mengapa terasa sangat kasar dan berdebu hari ini, sebelum akhirnya berbalik mendekatinya.

Ruben dengan wajah lelahnya, lekat menatap mataku. Perlahan menggapai lenganku dan memeluk aku yang berdiri tak jauh dari tempat duduk nya.

"I'm sorry" ujarnya kemudian,

sebait kata pendek yang mengandung penyesalan teramat dalam. Aku hanya terdiam tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Membuat ruben melepaskan pelukannya dan beralih menatap wajahku. Ada harapan dalam tatapannya, Berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sebuah pertengkaran kecil diantar kami, pertengkaran yang dulu adalah sebuah kata asing bagi kami. Dan kata putus hanya kesalahan.

Namun tidak bagiku. Buatku itu adalah kenyataan yang akan aku perjelas lagi kini. Kenyataan yang menyakitkan namun entah mengapa terasa benar kali ini.

"Kenapa?" Ujarnya meminta penjelasan.

"Ada orang lain" ujarku tegas

Aku tau ini akan menyakitinya. Bahkan tanpa ku sadari ini menyakitiku juga. Ada cekal dalam hati ku ketika aku mengucapkan kata kejam itu. Namun aku tak bisa terus memanfaatkan kebaikannya. Dan cepat atau lambat diapun akan tau itu. Dan saat itu tiba lukanya mungkin akan lebih besar dari ini.

Karena mungkin jika semakin lama cintanya ku biar kan menyimpan harap padaku maka akan semakin besar harapannya. Dan kata pisah ibarat hunusan pedang panjang yang akan menusuk jantungnya bertubi-tubi kala saat itu tiba. Ini lah mengapa aku tak pernah siap untuk menjalin sebuah hubungan serius.

Aku mulai menyesali keputusan ku. Kalau saja saat itu aku bisa mempertahankan hatiku dan tidak goyah lalu memilih hubungan ini. Mungkin aku tak akan menyakiti ruben sedalam ini. Mungkin kita bisa menjadi sahabat baik atau kakak, adik yang tak perlu menyakiti.

Andai saja keegoisan ku tak ku dengar saat itu. Namun bukan penyesalan namanya jika datang tak ter lambat.

"Siapa?, Apakah dia lebih baik dari aku?" Ruben tampak kesal namun bisa kurasakan ia sangat mencoba menahan amarahnya.

laki-laki lembut ini mencoba berbagai cara untuk menenangkan intonasinya, dari dulu ia tak pernah berkata kasar padaku, tak pernah meninggikan intonasi saat keadaan tak cukup baik untuk kami berdua.

Namun aku tak bisa menjawab apapun tak ada kata yang sanggup terlontar. Aku tak mau melukainya lebih dalam lagi sungguh tak bisa.

Ruben tampak menyerah. Ia melepasku perlahan.

"Apa kamu lebih bahagia dengannya?" Ia menatap ku dalam.

Pertanyaan nya seakan menusuk ku berkali-kali. Tanpa aku sadari air mata mengalir dari pipiku. Aku tak punya jawaban untuk itu. Bahagia kah aku bersama alya? Aku tak punya jawaban untuk itu. Lebih tepatnya aku tak yakin dengan jawabanku.

Ruben memeluk ku lagi. Mengecup keningku untuk terakhir kali dan meninggalkanku sendiri.

Ia bilang kali ini dia akan merelakanku. Ia takmau melihatku terluka dengan pilihan sulit. Namun dia tak akan benar-benar pergi dari hidup ku. Dia akan tetap di sampingku. Hingga jika suatu saat nanti aku terbangun dalam mimpi kelamku. Aku bisa kembali padanya kapanpun aku mau.

Ia bilang ia akan selalu berdiri disana dan memastikan tak bergerak sejengkalpun hingga aku akan selalu tau dan yakin kemana akan pergi saat aku membutuhkannya.

Hujan seolah mengisyaratkan luka dalam degup dan dentum
Aku dengan keegoisanku terpuruk dalam diam.
Aku dan kecemasan ku terhanyut dalam kelam
Aku menyalahkan hati
Aku menangisi diri
Lalu kata andai saja seolah menjadi pembenaran yang tak berarti
Aku tak tau
Atau mungkin tak mau tau
Semua terasa seperti tanda tanya dan seru yang menderu
Ah andai hati seperti logika
Tak akan susah untuk ku menyuruhnya ini dan itu.

not a same (Session 1) (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang