Ketika orang-orang di sekitar Hanna hanya mengetahui satu sisi tentang dirinya yang disiplin, tidak suka kesalahan, dan bersikap dingin, tapi saat sendiri Hanna hanya sekeping hati yang rapuh.
Di malam yang hening ini, di saat Vany -putrinya- sudah terlelap di pangkuannya seperti biasa, maka yang ia lakukan selanjutnya adalah mendengarkan musik dengan earphone- nya sambil menatap sebuah foto yang sialnya masih ia simpan.
Ia sadar konsekuensinya, jika ia melihat foto itu, maka kenangan buruk serta rasa bersalah akan langsung memenuhi dirinya, dan yang terjadi selanjutnya adalah menahan netranya agar tidak mengalirkan air mata.
Tapi tahukah betapa sulitnya itu? Hanna selalu begitu, ia sengaja menyiksa dirinya seperti ini dengan harapan rasa bersalahnya bisa hilang. Rasa sakit yang ia derita selama tiga tahun ini tidak pernah berkurang, rasa sakit itu seperti tanaman yang terus tumbuh karena pupuk yang ia berikan sendiri.
Hanna, Nastiti, Nanda dan Diswara adalah teman dekat saat kuliah dulu, maka komunikasi mereka selalu terjaga dengan adanya grup yang sengaja Nastiti buat tiga tahun lalu, dan selama itu pula Hanna harus mendrama bahwa tidak ada apa-apa diantara dia dan Amanda.
Namun bagaimanapun sesuatu itu disimpan, pasti akan ketahuan juga bukan? Maka Nanda adalah sahabat yang peka lebih dahulu dengan perubahan Hanna. Hanna yang dikenal ceria dan ceriwis, kini harus berubah drastis karena masa lalu yang terus mengikis jati dirinya yang sesungguhnya.
"Berhenti siksa diri kamu kayak gini, Hann." Nanda menarik earphone dari telinga Hanna dengan lembut. Setelahnya Nanda menghela nafas, ia tahu betul kalau sahabatnya tidak akan mau lagi terlihat lemah di depan siapapun.
"Bawa masuk Vany ke dalam, biar aku yang beresin meja sofanya."
Hanna tersenyum sangat tipis. "Makasi." Hanna meletakkan ponselnya di sofa lalu mengangkat Vany untuk dibawa masuk ke dalam kamar.
Nanda melirik ponsel Hanna, melihat tulisan serupa running text yang menampilkan judul lagu yang sedang Hanna dengarkan.
'Ruang Rindu - Letto'
Nanda kembali menghela nafas. Ia telah mengetahui segalanya, hanya ia yang tahu. Ia masih ingat bagaimana cara Hanna menceritakan kesalahan terbesarnya itu kepadanya. Datar, seperti lelah menyimpan rasa itu sendirian, sampai menangis pun sudah tidak pernah lagi Nanda lihat. Padahal diantara mereka berlima, Hanna adalah yang paling lembut hatinya, mudah terharu untuk hal-hal yang menyentuh hatinya.
"Aku kayak mati rasa, Nda. Aku nggak bisa ngerasain apa-apa lagi. Hambar." Ucap Hanna saat menutup akhir ceritanya kala itu.
"Biar aku yang ngelanjutin, kamu istirahat aja, Nda." Hanna mengambil beberapa buku dari tangan Nanda untuk ia rapikan.
Nanda patuh, ia pergi meninggalkan Hanna yang tanpa Hanna ketahui kalau Nanda pergi ke dapur untuk membuatkannya teh hangat.
Hanna kembali menyetel lagu itu, kali ini tidak menggunakan earphone, sehingga suaranya memenuhi ruang televisi. Ia kembali merapikan buku belajar Vany dan memasukkannya ke dalam tas.
Bersamaan dengan itu, Nanda kembali ke sofa dan duduk di sebelah Hanna. Ia ambil ponsel Hanna dari tangannya dan mematikan musiknya.
Hanna tak merespon apapun, ia hanya patuh dan menonton televisi sekedar untuk mengalihkan rasa sakit yang sebenarnya tidak mungkin bisa hilang.
Nanda memberikan secangkir teh untuk Hanna, dan mereka pun meminumnya bersama sambil melihat televisi.
"Sorry. Aku nggak bisa buat milkshake kesukaan kamu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Two Hurts (GxG)
Romance[Terima Kasih sebelumnya karena tidak memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun 🙏 ] Hanna Tarisa Putri. Wanita yang pernah patah hati bahkan sebelum sempat memiliki, akhirnya memilih menutup diri dengan siapapun. Jika ada yang mulai memberikan sign...