1. Prolog (Revisi)

46 9 6
                                    

Happy reading guys :)

__________

"Dimulai dari suatu rasa penasaran, berakhir ke titik paling ku sesali seumur hidupku."

***

Neyla masih menaruh curiga pada sikap Galen selama ini, sehingga ia memutuskan untuk menguntit cowok itu lagi sepulang sekolah nanti. Neyla yakin, kali ini ia tidak akan kehilangan jejaknya lagi.

Dan sekarang, disini lah dia berada. Neyla terdiam menatap bangunan dua tingkat dihadapannya. Rumah tersebut terlihat tidak begitu terawat, namun masih layak dihuni. Tadi, sebelum ketempat ini, Galen sempat berhenti di SMA PELITA menjemput seorang cewek yang Neyla perkirakan lebih muda darinya.

Dengan menghela nafas, Neyla memantapkan hatinya melangkah memasuki rumah tersebut. Menatap sekeliling, rumah ini nampak seperti rumah pada umumnya. Namun, satu hal yang mengganggu, Neyla mencium bau tak sedap, walaupun tidak begitu kentara.

Neyla tidak melihat Galen ataupun cewek itu sedari tadi. Menatap keatas, Neyla bisa menebak pasti keduanya sedang ada disana. Berjalan dengan perlahan dari satu anak tangga ke anak tangga lainnya, berusaha berjalan tanpa menimbulkan suara.

Dugh.

Suara gaduh itu membuat fokus Neyla terpaku. Matanya menelisik pintu berwarna cokelat yang berada di ujung kiri lantai dua. Telinganya menajam, mendengar suara cewek yang terdengar ketakutan.

Dengan begitu hati hati, Neyla mengintip pada celah pintu yang tidak tertutup rapat. Alis Neyla mengerut melihat hal pertama yang tertangkap netranya adalah seorang gadis yang terkulai di lantai dengan gemetaran. Gadis itu adalah cewek yang dibawa Galen tadi. Netra Neyla menajam, menatap pergerakan Galen yang sedang membawa sebuah kotak dari laci.

Perkakas?

Galen beralih membuka lemari kecil, dan mengeluarkan beberapa benda berbahan besi dari lemari tersebut. Mulai dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar, hingga mungkin bisa mematahkan tulang.

Pisau dapur?

"K-kak Galen mau apa?" Gemetar cewek itu.

Galen menarik sudut bibirnya menerbitkan sebuah seringai mengerikan. "Main," jawabnya singkat.

"M-main?" beo cewek itu bingung sekaligus takut.

Merogoh sebuah pisau lipat tua yang nampak sudah berkarat dari saku celananya, Galen tersenyum singkat. "Let's we play."

"K-kak Galen? J-jangan bilang kalo K-kakak mau-" ucapnya menggantung, pupil matanya membesar saat sadar yang dipikirkannya memang benar.

"K-kak jangan macam-macam, gu-gue mohon!"

"J-jangan, kak!"

"Jangan, please!"

"J-jangan!"

"Gue mohon..." pintanya memohon, air mata sudah nampak mengalir deras dipelupuk matanya.

Tanpa peduli permohonan cewek itu, Galen duduk disampingnya dan mendekatkan ujung pisau lipat tersebut ke pipi, ia mulai menggoreskan 'karya seni'nya. Goresan-goresan tipis yang kian lama kian dalam hingga mampu mengoyak pipi lembut cewek tersebut.

"Aaakhs... Jangan! Gue mohon."

Cairan merah kental keluar dari kedua pipi cewek tersebut, membuat gejolak gairah dalam diri Galen membuncah. Hasratnya serasa terpanggil untuk lebih bisa menorehkan 'karya' yang lebih 'indah' untuk dipandang.

Let's We Play [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang