[Jangan Lupa Vote dan Komen ya! Vote dan komentar kalian sangat berharga bagiku!]
(≧▽≦)Aku menggendong tas ku, berjalan menuju sekolah dan tak sengaja bertemu teman sebangku ku, Do Kyungsoo.
"Hahaha... Mereka menganggap kita kakak beradik karena nama kita mirip?" Dia tergelak.
Aku mengangguk, "aku sih gak masalah. Lebih baik mempunyai kakak pintar seperti mu daripada kakak tengil seperti Kai."
Dia tergelak dan menggeleng, "jangan begitu... Biar begitu dia kan kakak mu."
Aku mengulum senyumku, "yaa... Begitulah."
"Oh ya, apa kekasih mu tidak marah melihat kita jalan berdua?" Godanya.
*Kekasih yang dia maksud adalah Cha Eun Woo. Senior ku yang menyebarkan berita bahwa kita berdua berpacaran. Fyi, aku tidak menyangka namja pendiam seperti dia bisa begitu.
Kyungsoo langsung mendapat tatapan garang dari ku, bukannya takut dia malah tertawa.
Aku menghela nafas, "kau sama menyebalkannya dengan Kai."
"Lho bukannya kau yang bilang sendiri aku lebih baik dari Kai?" Tanya Kyungsoo.
"Ck.. terserah!" Aku pun meninggalkannya yang memanggil namaku sambil tertawa.
Kyungsoo itu adalah anak yang pendiam, introvert, kurang suka keramaian, menghabiskan bekal di kelas, menghabiskan istirahat di perpus, kutu buku, and all about nerdy guys out there.
Aku ingat sangat saat kelas 10 kami satu kelas dan aku memilih duduk dengan dia di kursi tengah paling depan (memang dasar ambis!) Kursi yang paling disegani anak-anak. Bahkan dia tak perduli aku duduk disampingnya. Berbeda dengan aku yang, sangat extrovert, awalnya kami ga pernah mengobrol. Aku mengajaknya ngobrol tapi dia menjawab seperlunya.
Hingga akhirnya pernah sekali dalam hidupnya dia telat masuk. Sebenarnya guru-guru tak masalah dan memakluminya, namun dia terlalu hiperbola menghadapi masalah itu. Dia terus bertanya padaku apa yang harus dia lakukan, berbeda dengan dia yang biasanya pendiam, hari itu dia sangat cerewet. Namun aku senang melihatnya, aku balas dendam pada saat itu. Aku tidak memperdulikannya sama sekali, siapa suruh dia tidak memperdulikan aku waktu itu.
Sampai akhirnya, kami ditegur oleh guru kami dan kami diusir dari kelas. Dan disitu aku benar-benar marah padanya. Kami dihukum tidak mengikuti jam pelajaran sampai istirahat kedua! Bayangkan! Bahkan kelas baru dimulai 15 menit yang lalu. Dan aku kehilangan lebih dari separuh jam pelajarannya di sekolah. Bukan diam, Kyungsoo makin kalang kabut sampai kami bertengkar di sepanjang koridor.
"Ini salah mu! Mengapa kau bagai orang tuli saat itu?!!!"
Awalnya aku memendam rasa kesalku hingga akhirnya dia menyalahkan ku, dia yang berjalan dibelakang ku terdiam. Dan sesaat aku berhenti berjalan dan menghadap kearahnya.
"HEI!!! KAU GILA?? KAU YANG BERISIK DARI TADI HINGGA MEREBUT PERHATIAN PAK LEETEUK! KAU YANG KRASAK KRUSUK MEMBUAT TAMBAH BERISIK! AKU HANYA DIAM DAN AKU IKUT SALAH?!! DAN SEKARANG APA?! KAU MENYALAHKAN KU?!" Aku menaikkan nadaku saat berbicara dengannya. Dia terdiam tak percaya melihatnya. Aku mengacak rambutku dan duduk dikursi koridor.
Aku menutup wajahku yang menangis, dia makin merasa bersalah. Dia duduk disamping ku dan mengusap bahuku yang terguncang karena isak tangisku.
"M-maf-maaf kan aku,,, aku hanya bingung tentang ketelatan ku tadi. Dan a-aku tak sangka malah makin berakhir buruk seperti ini. Jangan menangis ya... Tolong..." Dia memohon, akhirnya aku mau membuka wajahku dan mengusap air mataku.
"Maaf." Ucapnya tertunduk menyesal.
Dia terlihat sangat buruk saat itu. Aku jadi kasihan juga melihatnya.
"Iya. Aku juga minta maaf telah mendiami mu. Sebenarnya aku hanya ingin balas kau yang selalu tak memperdulikan aku selama ini. Mungkin aku tak tepat membalasnya,"
Dia tersenyum, aku terkekeh. Dia mengangguk. "Sekarang apa?" Tanyanya.
Aku tampak berpikir, "bila kembali ke kelas, percuma karena pasti Pak Leeteuk akan marah. Kita tunggu sampai jam pelajaran dia selesai lalu meminta izin untuk ikut kelas."
Dia mengangguk setuju. "Bagaimana kalau kita ke perpus saja?"
Aku memutar bola mata malas. "Please, aku lagi gak mood membaca atau belajar. Kita ke kantin aja yuk?" Ajakku sambil menaik turunkan alisku.
Dia malah menyentil keningku, "mata mu saja masih sembab, Sekarang mau bolos."
"Lho? Apa salah? Toh kita juga ga bisa masuk kelas. Fyi, orang yang dihukum keluar dari kelas itu lebih tinggi 'sedikit' derajatnya dari pada anak yang sengaja bolos, asal kau tahu." Ucapku sambil melipat tangan didada lalu berdiri.
"Bila kau mau ke perpus, pergi aja sendiri." Ujarku cuek lalu meninggalkannya. Dapat ku dengar dia mendengus dan mengikuti langkahku ke kantin. Aku tergelak puas mengetahuinya.
***
Aku berada di lapangan basket indoor disekolah ku. Sendiri. Aku menyesal tak memaksa Kyungsoo untuk menemaniku. Karena ku kira disini akan ramai. Tapi tidak. Hanya ada aku, tribun, ring, juga debu disini. Hingga aku mendengar decitan pintu, menandakan ada orang yang masuk. Belum sempat ku berbalik,
Byuurr!!!
Bajuku basah kuyup. Aku disiram dengan seember air yang sangat dingin dicuaca yang dingin seperti ini. Aku hampir mati. Mereka malah tertawa girang melihatku kedinginan. Aku ingin melawan mereka namun rasa dingin ini tak bisa dilawan. Dengan muka sinisnya mereka pergi meninggalkanku, sendiri. Bahkan tubuhku tak kuat untuk bangun. Surat kaleng itu, hampir membunuhku.
Setelah gelap terasa, badanku menjadi hangat. Aku tak tahu siapa yang membawaku kesini, kesebuah rumah bergaya nyentrik dengan banyak lukisan. TUNGGU! Aku langsung bangun terkesiap. Ini bukan rumahku, ataupun rumah Sehun, ataupun rumah Kyungsoo. Ini sangat asing bagiku. Dan aku berada disebuah sofa yang sangat empuk dan lebar yang dihadapkan dengan meja yang menyajikan air hangat, makanan juga obat-obatan. Belum sempat ku berdiri, ku dengar derap kaki.
Aku takut ini permainan Irene dan kawan-kawannya lagi. Untuk saat ini, sungguh aku belum siap. Bahkan bibirku pucat dan bergetar hebat. Hingga suara berat itu berada dibelakang ku, yang bukan main membuatku hampir meloncat. Dia terkekeh dan duduk disamping ku.
"Kamu gak apa-apa?" Tanyanya saat bokongnya sudah mendarat sempurna di sofa mewah ini. Aku mengangguk, jantungku hampir jatuh tadi.
"Apakah mereka harus mendapat pelajaran?"
Aku mengangguk.
"Apakah--"
"Jangan menyerahkan cctv itu." Tukasku langsung. Dia menghela nafasnya berat.
"Saya tak bermaksud membiarkan mereka seenaknya. Tapi saya juga tidak mau menang karena pelantara. Biarkan saya mengurusnya." Kataku panjang. Dia manggut-manggut.
"Biar saya antar pulang." Katanya lalu berdiri.
Aku mengangguk. "Tapi sebelum itu, habiskan makanannya juga minum obatnya. Biar saya yang bilang ke orang tua kamu." Lanjutnya dan aku kembali mengangguk.
[TBC ಡ ͜ ʖ ಡ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Livin' In Lie
FanfictionPasti kita akan merasakan sedih. Cepat atau lambat, namun kesedihan itu adalah sesuatu yang pasti.