Judul : Celandine
Karya : Ikratnasih
Bintang_Senja_
~~~~~Ketidaksempurnaan fisik bukan alasan untuk menyerah pada keadaaan.
Di tengah hiruk pikuk pasar Jaya, seorang pemuda tampak sibuk membawa belanjaan dengan sebelah tangannya. Ia kehilangan lengan kirinya dalam kecelakaan lalu lintas tahun lalu. Namun, semangatnya tak pernah pudar. Alih-alih menyerah, ia justru bersemangat dalam menjalani hidupnya.
Muhammad Rifki Hafiz Alatas, nama pemuda itu. Ia merupakan tulang punggung keluarga, ayahnya telah tiada sejak dua tahun lalu. Pemuda itu harus menghidupi ibu dan adiknya yang masih berusia lima tahun. Ia juga harus berperan sebagai kakak dan ayah bagi Nada, adiknya.
Hidup dari kalangan keluarga yang sederhana membuatnya harus bekerja keras. Selain menghidupi keluarganya, ia juga harus harus memikirkan biaya kuliahnya di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Ia boleh saja miskin harta, tetapi bukan berarti harus miskin ilmu juga, begitu prinsipnya.
Perjuangannya tak mudah karena ada banyak suara sumbang yang mencoba menjatuhkannya. Namun, ia memilih menulikan telinganya.
Rifki menawarkan jasanya pada beberapa pengunjung pasar yang membawa banyak kantong belanjaan.
"Bu, kalau boleh saya bisa bantu bawakan belajaaanya," tawar Rifki.
"Gimana mau bawakan, tanganmu saja hanya satu gitu. Belanjaan saya kan banyak. Lagian buat apa kamu susah-susah jadi kuli di pasar?"
"Untuk tambahan biaya kuliah, Bu."
"Orang miskin mah miskin saja, enggak usah banyak gaya pakai kuliah segala. Buat makan saja susah, gimana mau bayar kuliah."
Rifki beristighfar dalam hati, ia balas tersenyum pada Bu Vita, tetangganya. Salahkah, jika ia yang miskin juga ingin mengenyam pendidikan tinggi? Apa pendidikan tinggi hanya diperbolehkan bagi mereka kalangan yang berada?
Daripada berdebat, pemuda itu memilih undur diri. Ia tak tahu apakah masih bisa menahan emosi jika tetap berada di sana.
Tepat pukul enam pagi, Rifki sudah kembali ke rumahnya. Ia pulang dengan membawa dua bungkus makanan untuk ibu dan adiknya, penghasilannya pagi ini hanya cukup untuk itu. Usai mengucap salam, ia masuk dan meletakkan makanan di atas meja makan.
"Bu, sarapannya Kiki letakkan di meja."
"Iya, kamu sama Nada sarapan saja dulu. Ibu mau menjemur pakaian dulu." Suara Dini terdengar dari halaman belakang.
Rifki yang berniat membersihkan diri, berbalik dan menghampiri ibunya. Ia membantu sang ibu terlebih dahulu, toh, ia masih punya waktu sebelum berangkat ke kampus.
"Kamu sarapan terus siap-siap ke kampus saja, nanti terlambat!" Dini mengingatkan putranya.
"Ah, Ibu. Ini masih jam enam, lagi pula aku masuk jam delapan hari ini. Ibu sama Nada saja yang sarapan. Kiki, insyaallah puasa."
"Kok tadi enggak sahur?" Dini mengernyit heran.
"Sahur kok. Ibu saja yang enggak tahu." Lesung pipit di wajahnya tercetak jelas.
Dini mengangguk, meskipun dia sendiri enggan percaya dengan ucapan putranya. Namun, wanita itu tak bertanya lebih. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya menjemur pakaian.
Selain menjadi ibu rumah tangga, Dini juga berprofesi sebagai buruh cuci. Penghasilannya ia tabung untuk membiayai sekolah Nada dan juga membantu Rifki. Walaupun tak seberapa, tetapi setidaknya dia tak bergantung seutuhnya pada si sulung.
Pukul tujuh, Rifki mengayuh sepeda tuanya ke kampus. Ia sedikit beruntung karena jarak rumah dan kampusnya tak terlalu jauh sehingga ia bisa menghemat uang dengan tidak naik kendaraan umum.
Sesampainya di kampus ia memarkirkan sepedanya di parkiran sepeda. Ia melangkah masuk menuju kelasnya, hampir semua orang menyapanya dengan senyum lebar. Rifki termasuk dalam salah satu jajaran mahasiswa teladan sekaligus berprestasi di kampusnya, tak heran jika seantero kampus mengenalnya.
"Assalamua'alaikum, Mas Kiki."
"Selamat pagi, Mas Rifki."
Rifki tak banyak bicara, ia hanya menjawab sekenanya dan tersenyum kemudian berlalu pergi.
Pemuda berlesung pipit itu menjadi langganan juara dalam olimpiade matematika, alasan kenapa ia bisa mendapat beasiswa penuh dari kampus. Ia masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum kelasnya dimulai, langkahnya diayunkan menuju perpustakaan kampus. Hanya tempat itu yang menjadi favoritnya selama kuliah di UGM.
Rifki mengambil buku filsafat dari rak, ia baru membaca satu halaman ketika Rendi dan ketiganya datang.
"Kita boleh minta tolong diajari tugas matematika, Mas?" Rendi berucap ragu.
Niatnya ingin membaca sebentar, tetapi gagal karena ia diminta oleh adik tingkatnya untuk mengajari matematika. Ia mengabaikan buku yang diambil, fokusnya beralih pada soal matematika yang disodorkan oleh Rendi.
"Boleh, tetapi cuma sampai jam delapan, ya. Kalau sekiranya belum mengerti, jam istirahat kalian bisa ke kelasnya Mas Kiki." Lesung pipit di kedua pipinya tercetak jelas.
Rifki menjelaskan pada Rendi dan ketiga temannya tentang rumus yang harus dipakai dalam mengerjakan logaritma. Penjelasannya cukup lugas dan mudah dimengerti. Dalam waktu lima belas menit, sepuluh soal yang tersaji sudah terselesaikan dengan baik.
"Terima kasih Mas karena bersedia mengajari kami.
"Sama-sama."
"Kami pamit ke kelas duluan, Mas." Rendi pamit undur diri.
Usai membereskan barangnya, Rifki segera menuju kelasnya. Kelasnya sudah tampak ramai karena sebentar lagi akan dimulai.
Pembelajaran hari itu tidak terasa karena bel pulang telah berbunyi. Sepulang dari kampus, pemuda itu tak lantas pulang. Ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai penyiar radio di Egatama, dari hingga pukul tiga hingga lima sore.
Usai magrib, ia belajar mengaji pada Ustaz Hanif. Bagi Rifki, ilmu dan agama harus seimbang. Keduanya sama-sama harus diperjuangkan.
Selain mengkaji ilmu agama, ia juga belajar menghafal Al-Quran. Awalnya ia berniat mempersembahkan mahkota serta jubah kemuliaan bagi kedua orang tuanya di akhirat kelak, tetapi seiring bertambahnya ilmu, ia menghafal karena mengharap ridho dari-Nya. Berharap, Al-Quran akan menjadi sahabat setianya hingga nanti.
Pemuda itu baru sampai rumah sekitar jam delapan malam. Setelahnya pun tak lantas terlelap, tetapi kembali mengulang pembelajaran juga mengerjakan beberapa tugas dari kampusnya.
"Ki, kamu enggak istirahat? Ini sudah larut malam." Dini meghampiri putranya yang masih duduk menghadap laptop.
Niatnya ingin mengambil minum, dia justru mendapati putranya yang masih tampak sibuk.
"Kiki masih ada tugas, Bu. Ibu istirahat duluan saja, sebentar lagi tugasnya juga selesai kok." Rifki mengelus punggung tangan ibunya.
Wanita itu justru turut duduk di lantai di samping putranya, dia memilih menemani Rifki. Terkadang dia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan tempat yang layak bagi kedua anaknya.
Dia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar si sulung yang tak seberapa luas, hanya ada selembar kasur lantai tipis serta tikar sebagai alas tidurnya. Tak ada selimut tebal, yang ada hanyalah kain sarung usang peninggalan almarhum suaminya. Sebuah meja kecil di sudut ruangan, tempat yang biasa digunakan Rifki untuk mengerjakan tugas seperti sekarang.
"Maafkan Ibu, Nak karena tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu," ucap Dini parau.
Rifki menoleh, jemarinya ia gunakan untuk mengusap air mata yang membasahi wajah ibunya.
"Bu, layak atau tidak itu tergantung pada rasa syukur yang dimiliki. Bagi Kiki, apa yang kita punya sudah cukup. Di luar sana masih ada banyak orang yang hidupnya jauh dibawah kita," tutur Rifki lembut.
Dini tersenyum mendengar penuturan putranya, setiap kata yang terucap dari bibirnya mampu membuat hatinya merasa tenang.
"Kiki janji, aku akan membuat kehidupan kita dipandang layak oleh mereka yang memandang sebelah mata."
"Bu, Ibu istirahat saja. Rifki sudah selesai kok," ucap Rifki sembari membereskan buku serta laptop miliknya.
Dini mengangguk, dia mencium kening putranya sebelum berlalu kembali ke kamarnya. Rifki segera membaringkan tubuhnya begitu sang ibu keluar dari kamarnya.
Pukul tiga pagi, ia sudah terbangun. Lantas melaksanakan salat malam, dilanjutkan dengan tilawah serta murajaah hafalannya. Waktu istirahat pemuda itu paling lama hanya sekitar empat jam per hari. Lelah, jangan ditanya? Ia lelah, tetapi tetap berusaha bersyukur karena ada banyak orang di luar sana yang bahkan nasibnya masih kurang beruntung dibanding dengannya.
Usai salat subuh, ia pergi ke pasar melakukan rutinitasnya sebagai kuli panggul. Keterbatasan fisik tak pernah menyurutkan semangatnya. Ia justru berusaha membuktikan, cacat bukan alasan untuk menyerah pada keadaan.
"Nak, tolong bawakan belanjaan saya ke mobil, ya." Seorang wanita paruh baya tampak kerepotan dengan berbagai kantong belanjaan di kedua tangannya. .
Rifki yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di trotoar jalan, segera bangkit dan membantu. Ia tak bisa membawa sekaligus, tetapi tetap selesai dalam tiga kali angkut.
"Terima kasih, Nak. Ini ada sedikit buat kamu." wanita itu menyodorkan selembar uang lima puluh ribu.
Rifki tak lantas menerima, ia ragu karena uang itu dirasa terlalu banyak. Namun, setelah dipaksa ia pun menerimanya. Pemuda itu mengucap syukur dalam hati atas rezeki yang telah diberikan kepadanya.
*****
Selama empat tahun terakhir, Rifki menjalani rutinitasnya dengan senang hati, tanpa mengeluh. Bekerja di beberapa tempat demi membiayai hidup keluarganya serta kuliahnya. Ia tak bisa hanya mengandalkan beasiswa karena tak semua hal ditanggung olehnya.
Dini dan Nada menghadiri acara wisuda Rifki, dengan pakaian terbaik yang dimiliki. Namun, tetap saja wanita itu merasa minder ketika melihat wali lainnya yang berpakaian rapi. Dia sendiri hanya mengenakan gamis lusuh pemberian tetangganya, dengan kaki yang hanya beralas sandal jepit. Keduanya hanya mengikuti langkah dari undangan lainnya untuk sampai ke tempat acara.
Hari ini, Rifki resmi menyandang gelar sarjana pendidikan. Ia merupakan lulusan terbaik dengan ipk sempurna. Suara riuh tepuk tangan bergema di aula auditorium kampusnya, ketika nama 'Muhammad Rifki Hafiz Alatas' dipanggil sebagai lulusan terbaik.
Pemuda itu lantas naik ke podium. Ia mengedarkan pandangan ke arah barisan wali dan tersenyum pada ibu serta adiknya.
"Tidak banyak yang bisa saya ucapkan. Saya hanya ingin sedikit berbagi cerita pada teman-teman sekalian. Seperti yang kalian tahu, saya hanya berasal dari kelurga sederhana dengan fisik yang tak sempurna."
Rifki menarik napas panjang, mencoba menguaraikan rasa sesak di dadanya. Suaranya bergetar menahan tangis.
"Saya memiliki prinsip, saya harus berhasil. Saya harus membuktikan pada mereka yang meremehkan dan merendahkan bahwa saya bisa berhasil, meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Sekarang, saya berdiri di sini. Saya berani katakan bahwa seorang yang miskin dan cacat seperti saya bisa berhasil meraih mimpinya." Rifki menunjuk dirinya.
Dini turut menangis di kursinya dengan memeluk Nada, ia bahagia untuk putranya. Namun, tak dipungkiri ada rasa sedih yang juga menyelinap masuk. Kebahagiannya tak utuh karena suaminya telah tiada.
"Jika saya mampu, saya yakin kalian jauh lebih mampu. Pesan saya, perjuangkan setiap mimpimu dan jadikan semua itu menjadi kenyataan yang menyenangkan."
Semua orang turut menangis, mendengar pernyataan Rifki. Mereka seolah bisa merasakan bagaimana perasaan pemuda itu. Mereka semua berdiri dan bertepuk tangan dengan riuh.
Usai prosesi wisuda selesai, ia segera menghampiri ibunya. Ia bersujud dan mencium kaki ibunya karena semua yang ia raih saat ini berkat wanita itu. Berkat doanya di setiap sujud panjangnya.
"Terima kasih, Bu, atas setiap doa yang Ibu panjatkan untukku." Rifki bangkit dan memeluk ibunya dengan erat.
"Buat Nada juga karena sering mendoakan Mas Kiki." Ia beralih memeluk adiknya.
"Terima kasih, Nak. Kamu sudah mengusahakan yang terbaik. Ibu bangga padamu." Dini mengecup pipi putranya.
Mereka pun segera kembali ke rumah.Sesampainya di rumah, Rifki disuguhi dengan makanan kesuakaannya. Gulai ayam serta sambal tomat. Pemuda itu tampak menikmati hasil tangan ibunya.
"Terima kasih, Bu. Ibu pasti banyak menghabiskan uang untuk membuat ini." Rifki berkaca-kaca.
"Sesekali, enggak apa-apa. Hanya ini yang bisa Ibu berikan di hari istimewamu. Seharusnya, Ibu bisa memberikan yang lebih baik dari ini, tetapi ...."
"Bu, ini sudah cukup. Kiki hanya minta Ibu tetap ada di sampingku, mendoakanku, dan meridhoi setiap langkahku karena ridho Allah terletak pada ridho Ibu."
Rifki bukan hanya mendapatkan gelar sarjana pendidikan, tetapi ia juga berhasil mendapat gelar sebagai hafiz, sesuai dengan namanya.
Masjid Nurul Huda menjadi saksi bisu perjuangan pemuda itu untuk menghafal Al-Quran. Berkali-kali ia gagal, tetapi niat dan tekad kuatnya kembali mengantarnya pada pintu keberhasilan.
Ia menangis ketika menyelesaikan ayat terakhir surah An-nas. Bayangan wajah ayahnya yang tersenyum bahagia tampak nyata di pelupuk mata. Andai lelaki hebat itu masih ada untuk menyaksikan dan mendengarkan bagaimana ia melantunkan ayat demi ayat dengan merdu, Rifki pasti akan lebih bahagia.
"Ayah, semoga kelak kita bisa berkumpul kembali di surga-Nya. Semoga kelak di yaumul akhir, aku juga bisa mempersembahkan mahkota serta jubah kemulian untukmu dan Ibu," batinnya.
Rifki menghampiri ibunya, dan memeluknya dengan erat. Air mata tampak mengalir deras dari sudut matanya. Akhirnya, ia bisa mewujudkan mimpi terbesar dalam hidupnya, menjadi seorang hafiz Quran.
Rifki tak henti mengucap syukur atas segala kenikmatan, serta kemudahan yang diberikan Allah kepada-Nya. Ia tak pernah menyangka akan berada di posisi seperti sekarang. Kehidupannya membaik setelah ia diangkat menjadi dosen di universitas tempatnya menimba ilmu.
Pemuda itu juga diangkat sebagai ketua dalam program Go Hafiz di kampungnya. Program itu dibuat agar ada banyak hafiz yang tercetak di kampung Banaran. Semua perjuangannya telah berbuah manis, sekarang ia tinggal menikmati hasil dari apa yang pernah ia tanam. Semua cacian yang pernah terlontar, kini telah Allah ganti dengan sanjungan.Ending!
~~~~~
Terima kasih untuk yang sudah membaca💖
Mohon koreksi jika ada typo ya😊
Kritik dan sarannya kami tunggu🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen 'PERJUANGAN'
Teen Fiction"Jika perjuangan ini berakhir sia-sia bagaimana? Kamu telah membuang banyak waktu dan mengorbankan semuanya," ujarnya. "Tidak ada namanya perjuangan yang sia-sia," jawabku, dengan senyum yang sama sekali tidak pernah luntur. "Andaikan perjuangan ini...