Kanaya menatap tepat di mata laki-laki itu. Jantungnya sudah tidak bisa dikontrol. Pikirannya kosong, tak ada kata yang bisa disusun olehnya. Berat rasanya membuka mulut.
Berbeda dengan laki-laki itu. Dia mengamati Kanaya dengan lekat. Rindu yang membeku seolah mencair tiba-tiba. Kegelisahannya selama ini menguap saat wajah cantik Kanaya terpampang jelas di depan mata.
"Kana--"
"Stop! Berhenti di sana, Davin!" seru Kanaya refleks sembari mengulurkan tangannya untuk menghentikan langkah laki-laki yang tidak lain adalah Davin.
Awan mendung menghiasi wajah Davin. Sudah sepuluh tahun berlalu, rindunya yang menggebu membuat Davin gila. Saat waktu yang dinanti tiba, Kanaya justru memberikan tatapan tak bersahabat.
"Nay, kita perlu bicara," kata Davin, lembut. Dia tetap melangkah maju mendekati Kanaya.
"Sepuluh tahun. Aku rasa itu waktu yang terlalu lama untuk kita berbicara lagi, Dav," timpal Kanaya berjalan mundur.
"Tapi, Kan--"
"Rega!" seru Kanaya pada pengendara motor yang baru saja melewatinya.
Rega yang kebetulan mengendarai motor pelan pun berhenti. Dia melirik si empunya suara dari balik kaca spion. Matanya langsung membulat saat tahu itu Kanaya.
Tanpa membuang waktu, laki-laki manis itu putar balik dan menghampiri Kanaya.
"Lho, Nay. Kamu lagi apa di sini? Dan ...." Mata Rega beralih pada Davin. Seketika Rega menelan ludah. Situasi yang ambigu.
Rega yang dulu teman sekelas Kanaya dan Davin sudah tahu apa yang terjadi di antara dua orang itu. Namun, kali ini Rega tidak tahu harus berbuat apa.
"Ha-hai, Bro. Lu ada di sini. Hehehe," cetus Rega mencoba mencairkan suasana.
Davin melirik tajam pada Rega, seperti memberi isyarat agar laki-laki itu pergi. Sayangnya, Rega tidak paham.
"Ga, anterin aku pulang," pinta Kanaya tiba-tiba.
Rega dan Davin sama-sama tersentak. Itu seperti bukan Kanaya. Selama ini, Kanaya tidak pernah mau diantarkan teman laki-laki, kecuali Davin. Sayangnya, itu masa lalu yang usang.
"E-eh. Tumben, Nay?" tanya Rega polos sembari menggaruk pipi kirinya.
Tanpa memberi alasan jelas, Kanaya bergegas naik di jok belakang motor matic Rega. "Jalan, Ga. Udah malem, nanti ibuku nyariin. Tolongin, ya?" pinta Kanaya lagi sembari menepuk Rega.
Rega tidak langsung jalan. Dia menoleh pada Davin, seolah meminta izin. Tetapi, Davin bungkam. Hanya mimiknya saja yang tegang dengan otot-otot wajah mengeras. Jelas saja membuat Rega takut.
Kanaya yang paham pun berbisik pada Rega. "Ga, tolong anterin aku. Aku enggak mau lihat Davin. Kamu ngerti, kan?"
Rega mengangguk, mengerti. Dia pun mulai menstater motor. Sebelum menancap gas, Rega pamitan dan meminta maaf pada Davin karena harus mengantar Kanaya.
Davin tak menggubris Rega. Dia hanya fokus pada Kanaya. Hingga motor Rega menjauh pun, Davin tetap menatap lurus.
"Nay, sebesar itukah salahku, sampai kamu benci begini?" gumam Davin, sedih.
***
Kanaya berjalan gontai memasuki rumah. Setelah diantarkan Rega, Kanaya hanya berucap terima kasih. Dia meminta Rega untuk tidak menceritakan kejadian ini pada orang lain.
"Harusnya kamu bicara dulu sama Davin, Nay," ucap Rega sebelum pergi.
Kanaya tersenyum kecut. Sudah terlambat, berbicara pun tidak akan mengubah keadaan dan masa lalu. Luka tetap luka, bekasnya akan ada sampai kapan pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart (Kembalinya Luka Lama)
AcakApa jadinya jika luka di hati menjadi penyebab trauma akan sebuah hubungan? Bahkan, mereka belum memulai, tapi terlebih dahulu pupus sebelum diungkapkan. Tentang kisah cinta Kanaya yang tak sampai, hingga meninggalkan trauma mendalam. Namun, saat Ka...