Janji Buruh Konveksi

5 0 0
                                    

Lengking suara peluit menandakan bahwa kereta akan segera berangkat,decit suara sepatu berlarian menuju pintu kereta berjejal bergantian satu-persatu memasuki gerbong kereta yang berangkat pukul lima lebih seperempat.

" Tak usah cemberut nanti akan kubelikan sandal baru untukmu." Kata Tarman sambil mengelus rambut gadis manis berkepang dua itu. Marni namanya gadis yang setelah lulus sekolah menengah pertama,yang harus melanjutkan sekolahnya di sebuah  kursus jahit,karena tak mampu lagi untuk membayar biaya masuk sekolah menengah atas. Karena masih ada adiknya yang harus ditamatkan sekolahnya,jika bisa di sekolahkan setinggi mungkin semampunya. Melanjutkan pendidikan di kursus jahit adalah pilihan yang tepat menurutnya,karena selain perempuan dia bisa mendapat penghasilan dari kursus ya meskipun tak banyak,paling tidak bisa untuk jajan adik-adiknya.

Marni mengangguk pelan,dipandanginya Tarman yang meninggalkannya di peron stasiun sendiri sepagi itu.
Dia maju selangkah memandangi kereta itu sampai hilang ditelan gelapnya pagi,dia juga tak  beranjak pergi sebelum suara kereta itu benar-benar hilang dari telinganya.

Menuju maghrib kereta yang membawa para buruh konveksi itu berhenti di stasiun dimana Tarman berpamitan pada Marni pagi tadi. Tarman heran,matanya menyapu segala sudut stasiun biasanya dia selalu di tunggu oleh Marni di ujung antrean tukang becak yang sering menawarkan jasanya pada para penumpang yang baru turun dari kereta. Mengapa sore ini Marni tidak datang.
Dengan segala cemas Tarman bergegas pergi dari stasiun itu,ditangannya ada sebuah bungkusan kresek berwarna hitam,entah apa yang dibawanya.
Tarman berjalan dengan cepat seperti waktu(ini sebenarnya lucu bila selera humor kita se-frekuensi).
Di benaknya hanya Marni,Marni dan Marni. Bila dia tidak datang pada sore hari biasanya saat mengantar Tarman Marni akan berpamitan,bahwa dia tidak bisa datang sore ini.
Tibalah Tarman di sebuah rumah kecil berukuran 6×9 meter di pinggiran sungai kecil di tengah kota. Di ketuknya pintu triplek berwarna biru itu,di panggilnya Marni tak ada jawaban. Tarman memasuki rumah itu dicarinya Marni di seluruh ruangan tapi tak ia dapati. Setelah melemparkan bungkusan yang ditangannya dengan sembarangan.
Tarman berlari keluar,dengan wajah yang lebih cemas dari sebelumnya, dia menyusuri bantaran sungai kecil tengah kota itu untuk mencari Marni.
Setelah menyebrang rel kereta Tarman langsung menuju sebuah rumah yang terbilang cukup kaya. Lalu berteriak di depan pagar besi yang angkuh itu.
"Marni,keluar dari rumah itu." Dua anak kecil berlari keluar disusul oleh Marni.
" Pulang!!" Kata Tarman dengan nada keras.

"Mengapa kamu masih saja mau disuruh-suruh mereka?" Marni dan dua anak kecil itu terdiam.

"Marni hanya bantu-bantu disana lumayan buat jajan adik." Jawab Marni.Tarman menghela nafas panjang tak sepatutnya dia berkata kasar pada mereka.
Tarman bertumpu dengan lututnya merangkul dua anak kecil  itu yang sudah menangis.
" Mereka tidak benar-benar ingin membantu kita,kamu ingat waktu ibu sakit apakah mereka mau membantu? Mas sudah memintanya dengan menyembah-nyembah. Tapi apa kata mereka. Mereka malah mengolok kita. Sejak bapak pergi mereka sudah tak peduli lagi dengan keluarga kita,meskipun mereka adalah saudara tua bapak tapi aku tak akan pernah lagi  sekalipun menginjakan kaki di rumah mereka. Jika kita terus-terusan dibawah mereka,mereka juga akan mengambil satu-satunya peninggalan bapak ini dik."
Sesuatu mengalir dari sudut mata Marni.

" Apapun yang terjadi tak usah lagi datang kesana,apapun itu dan bagaimanpun kondisinya. Meskipun kita serba pas-pasan,Mas berjanji sekuat tenaga untuk tetap bisa menghidupi kalian,membayar kursusmu ,membelikanmu mesin jahit,menyekolahkan Dana dan Retno sampai yang mereka mau. Ingatlah adik-adikku meski hanya seorang buruh konveksi tapi Mas janji dengan seluruh darah dan keringat Mas untuk masa depan kalian." Keempat bersaudara yatim piatu itu saling memeluk menguatkan satu sama lain,meski Dana dan Retno belum tau apa itu perjuangan.

" Ini sandal yang mas janjikan tadi pagi semoga kalian suka,dan untuk Dana dan Retno kalian harus lebih giat lagi belajar,supaya nanti tak jadi buruh konveksi dan murid kursus jahit." Kata Tarman sembari menyodorokan bungkusan hitam yang tadi dilemparnya sembarangan.

Blitar,2020

Tulisan Sebelum TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang