BAB 6: Hampir

1K 173 109
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

“Pengetahuan yang kita dapat, sudah seharusnya semakin menambah kadar keimanan dalam diri. Jika hal itu malah berbanding terbalik, maka kamu harus pikirkan lagi, apakah niatmu dalam mencari ilmu sudah dapat dibenarkan?”

~.~

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur dengan keadaan gerah. Padahal kami tidak habis melakukan pekerjaan berat, tapi rasanya seperti habis mengangkat beban satu kuintal saja. Hah! Ini semua gara-gara gus Nuril. Belum saja melihat rupanya tapi beliau sudah berhasil membuat kami ngos-ngosan seperti ini. Jika saja ustadzah Windy tidak ahli sebagai pawang gus Emil, mungkin kami sudah kembali terkena hukumannya. Lagian tumben sih, biasanya juga gus Emil kalau manggil ustadzah Windy nitip pesan lewat khodam, eh tadi malah datang nyamperin sendiri.

Hari sudah mulai sore, sebentar lagi juga akan memasuki waktu ashar. Jamnya untuk mandi, pasti kamar mandi sudah sangat mengantri sekarang. Rasanya males sekali untuk bangun jika sudah rebahan. Percaya deh, ditarik oleh gravitasi bumi untuk terus rebahan itu sedep-sedep ngeri. Meski aku bukan termasuk orang pelor alias nempel molor, tapi kalau sudah rebahan tetap saja rasanya akan sangat malas.

Kulongokkan kepalaku untuk mengintip Gladys yang juga sedang rebahan di ranjang bawah.

“Dys, kamu ngelamun?”

Gladys yang tergagap membuat pradugaku kini benar. Huft, dasar tukang ngelamun. Belum pernah saja dia ngelamun terus tiba-tiba dikejutkan oleh mbak Harum.

“Mandi sana!” ujarku lagi. Biasanya memang Gladys yang sangat rajin nongkrong di antrian kamar mandi. Berbeda denganku yang selalu ngedumel jika antrian sangat panjang, dan list lagu yang ingin kunyanyikan sudah bosan.

Aku dan Gladys memang memiliki kepribadian yang sangat berbanding terbalik. Gladys dengan segala kerapiannya dan aku dengan segala keberantakanku yang selalu membuat Gladys ngomel-ngomel. Gladys sampai pernah mengataiku begini, “La, perempuan itu ciri khas sekali dengan kerapiannya. Aku curiga deh, kamu gak pernah ada rapi-rapinya seujung upil. Kamu beneran perempuan, kan?”

Aku hanya bisa mendengus kala mendengar ocehan Gladys saat itu. Tidak semua orang bisa rapi. Aku juga suka kerapian, tapi gak tahu kenapa susah sekali untuk mengaplikasikannya. Mungkin, ini salah satu cara Allah menyatukan persahabatan kami untuk saling melengkapi. Bakalan garing kalau kami sama-sama rapi. Ocehan Gladys pasti tidak akan aku dengar setiap hari jika kami memiliki kerapian yang sama. Perbedaan bukan hanya menghadirkan perselisihan, tapi juga menghadirkan kesatuan untuk saling melengkapi. Itulah yang disebut kita. Kita satu, walau berasal dari DNA yang berbeda.

Kulihat Gladys sudah mulai berjalan untuk mengambil peralatan mandinya yang tersimpan pada tempat khusus kami menyimpan peralatan mandi, diikuti Meda dan Hafshah. Ah, aku rasanya masih malas jika harus ikut mengantri.

“Dys, sebelum kamu keluar, jangan dulu buka pintu kalau aku belum ngetuk,” ujarku yang dijawab cibiran olehnya.

Aku hanya terkekeh geli. Sesekali boleh dong nitip antrian gini. Eh, bukan hanya sesekali sih, cukup sering aku nitip antrian ke Gladys. Tapi beberapa kali juga digagalkan oleh Meda yang selalu menyerobot antrianku. Kali ini, aku tidak akan biarkan itu terjadi.

ENIGMA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang