BAB 12: Penguntit

863 161 81
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

“Setiap orang memiliki kelemahan untuk ditopang, memiliki kesalahan untuk diluruskan. Tidak ada yang benar-benar siap untuk sendiri, karena itu kata kita hadir di antara orang-orang yang kesepian.”

~.~

Dalam tidurku, aku merasa bahwa kini ada yang tengah membelai kepalaku, mengelusnya dengan pelan dan bersenandung kecil. Elusan yang tampak nyata, tapi aku sadar bahwa saat ini tidak ada siapapun di sekitarku. Bahkan kini, saat aku paksa mataku untuk kubuka, rasanya sangat sulit sekali. Bibirku pula rasanya ikut terkatup dengan rapat tanpa bisa sedikitpun menggeramkan suara.

Pasti ada yang tidak beres. Alarm dalam tubuhku langsung saja mendengungkan tanda bahaya, mengintrupsi setiap ekstremitasku untuk siaga. Namun percuma saja, badanku terasa kaku dan beku. Sulit untuk bergerak.

Ah, aku selalu sebal jika dalam keadaan seperti ini. Tubuhku rasanya dingin. Hawa yang berbeda benar-benar sudah mendominasiku. Aku terus merapalkan istighfar dalam hati. Satu hal yang langsung aku ingat adalah saat lisan tidak mampu untuk mengudarakan ucapan, masih ada hati yang dapat mewakili lewat bisiknya.

Aku mencoba untuk merilekskan tubuhku, melemaskan setip persendian yang rasanya sangat kaku. Hingga seketika, sebuah batu yang mendarat tepat pada jidat cantikku telah sukses membangunkanku.

Aku meraup serakah oksigen dengan napas terengah, menyapu wajah dengan telapak tangan yang berkeringat dingin. Wajahku sedikit basah, begitu pula dengan pakaian yang aku kenakan. Jelas saja basah, aku ternyata ketiduran di tengah taman asrama putri. Embun turun menciptakan kuyup pada diriku.

Jantungku masih belum reda dengan degup kencangnya, tapi dengan segera aku mengucapkan doa bangun tidur setelah otakku rasanya kembali waras. Kuedarkan pandanganku ke setiap objek yang bisa mataku jangkau. Aku mengusap tengkukku yang seketika meremang, suasana saat ini sedikit … ramai, membuatku lebih memilih untuk menunduk. Ngeri lihatnya.

Ketika aku menunduk, sebuah kerikil seukuran jari jempol teronggok tidak jauh dari tubuhku. Aku mengambilnya, mengamati kerikil itu. Aku yakin, bukan mereka yang dapat kulihat yang melakukannya. Ini pasti ulah manusia. Tapi siapa? Rasanya hanya aku yang tidak cukup waras sehingga tidur di tengah taman semalaman begini.

Srettt.

Refleks aku menolehkan pandanganku saat menerima perintah gerak tidak sadar dari spinal cord. Suara seretan langkah itu terdengar dengan jelas seperti alas kaki yang beradu dengan ubin.

“Siapa, sih?” tanyaku pada diri sendiri.

Angin malam seketika kembali menyapa dengan sedikit kencang. Pepohonan di sekitar taman sudah melambai-lambai seakan mengajakku untuk ikut menari bersama. Hening ini, kembali menikamku dalam kesendirian.

Perlahan, aku bangkit dari dudukku. Membersihkan pakaianku dari kotoran yang bisa saja menempel. Kuambil terlebih dahulu buku teka-teki abah yang masih dalam kondisi terbuka pada teka-teki kedua. Langkahku mulai mengarah pada satu titik yang menciptakan sebuah bayangan. Aku melihatnya yang terpapar sedikit cahaya lampu sehingga menciptakan sebuah siluet yang mengikuti tuannya. Semakin lama, bayangan itu semakin merapat ke tembok. Aku yakin, penguntit itu pasti bersembunyi di balik tembok asrama.

ENIGMA [TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang