Chapter 5 - Espoir

918 114 13
                                    

"Bagaimana jika aku tidak mau pergi?" tanya Jimin yang membuat Yoongi menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan menatap Jimin lama.

"Maka aku akan memutuskan pertunangan kita. "

***

Yoongi melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Jimin yang memandang punggungnya dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya kehadirannya memang tidak diinginkan di sini, bahkan oleh tunangannya sekalipun. Yoongi bahkan terkesan tidak peduli dengan dirinya yang baru saja diserang membabi buta.

Jimin menarik nafasnya dan tersenyum miris. Tak menyadari air matanya yang menetes. Jangan salahkan dia jika ia menjadi sosok yang cengeng sekarang. Jiwanya masih terguncang mendapat serangan bertubi-tubi. Satu-satunya orang berada di sisinya dan satu-satunya orang yang ie kenal sebagai tunangannya justru terkesan acuh dan tidak peduli dengannya. Jimin menarik nafas, ia melangkah memasuki kamarnya dengan menyeret kakinya yang terasa nyeri.

***

Pria dengan mata dan pipi memerah dengan bekas tamparan itu dengan cepat mengganti bajunya dengan celana jeans, turtleneck, dan jaket bomber berbahan kulit berwarna hitam yang kebesaran di tubuhnya yang mungil. Dimasukkannya semua barang-barang miliknya ke dalam koper besarnya secepat yang ia bisa. Setelah semua selesai, dipakainya kaca mata hitam yang bisa menutupi matanya yang memerah dan melangkah keluar kamar.

Langkah Jimin terhenti begitu mendapati orang yang membuatnya menangis kini berdiri di ujung koridor dengan sebuah berkas terbuka di tangannya. Yoongi menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Jimin menaikkan dahinya dan berusaha sebisa mungkin berjalan ke arah Yoongi dengan tidak menyeret kakinya yang kini berbalut sepatu boots.

"Kau sudah tahu siapa aku, tapi kau masih berpura-pura tidak mengenalku. Sangat menarik bukan?" Jimin berhenti tepat di depan Yoongi yang kini telah menutup berkasnya.

"Aku tidak berpura-pura. Aku hanya tidak menemukan waktu yang tepat untuk memberitahukan semuanya padamu. " jelas Yoongi.

"Oh, benarkah?" tanya Jimin dengan nada tidak percaya.

"Ya. Awalnya aku berpikir bahwa kau memang tidak tahu siapa aku, namun sepertinya kau sudah tahu. Benar bukan?" balas Yoongi.

"Jadi apa? Untuk seorang tunangan yang tidak datang ke acara pertunangannya sendiri, tidak bisa kah aku berasumsi bahwa tidak akan ada pernikahan di masa yang akan datang. " Jimin tidak mau kalah.

"Sejauh yang aku tahu, Park Jimin-ssi juga tidak datang dalam acara pertunangan itu bukan?" ujar Yoongi telak.

"Omong kosong! Kau tahu aku kecelakaan pada malam pertunangan kita. Bagaimana bisa aku datang ke acara pertunangan itu jika aku harus dilarikan ke rumah sakit?" nada suara Jimin mulai meninggi.

"Baiklah, sebaiknya kita berhenti saling menyalahkan. " Yoongi tampak menghela nafas.

"Dokter Min, kau pasti tidak pernah setuju dan menentang pertunangan ini bukan?" Yoongi mengerenyitkan dahinya mendengar perkataan Jimin. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi tidak setuju.

"Aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu. " bantah Yoongi masih dengan suara tenang.

"Lantas mengapa kau menggunakan pertunganan kita sebagai alat untuk mengancamku?" tanya Jimin masih belum puas.

"Itu karena kau sudah sembuh, tapi kau masih berada di rumah sakit. Keberadaanmu di sini bisa mempengaruhi pasien lain dan pekerjaan kami sebagai tenaga medis. " ujar Yoongi lembut berusaha memberikan Jimin pengertian. Jimin tertawa hambar.

"Baiklah, katakan saja aku memang sumber masalah dalam pekerjaanmu yang harus segera disingkirkan. Aku paham pekerjaanmu memang paling penting dibanding apapun. " Jimin mengangguk-anggukan kepalanya. Yoongi masih menatapnya, mengamati gestur tubuh Jimin.

Make It Right [ YoonMin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang