"Nay, Budhe Nia meninggal."
Sebuah kalimat yang diucapkan Bagus dari ujung telepon beberapa jam yang lalu sanggup nembuat napas Naya tertahan sejenak. Segera ia membatalkan semua janji dan mengambil penerbangan tercepat ke kota tempatnya berkuliah dulu.
Naya tahu Budhe Nia menderita kanker payudara dua tahun terakhir, namun ia tidak menyangka jika ibu kost kesayangannya itu pergi secepat ini. Bagus yang menetap di Yogyakarta setelah menikah beberapa kali mengirimi kabar tentang kondisi Budhe Nia. Setelah beberapa saat mereka tidak berkomunikasi, kini Naya harus gigit jari karena kabar yang diinformasikan Bagus adalah kabar menyedihkan.
"Dua ratus meter lagi sampai ya, Pak. Yang rumahnya besar," ujar Naya pada supir taksi. Saking buru-burunya ia sampai lupa meminta supir pribadi untuk menjemput.
Dada Naya bergemuruh ketika rumah Budhe Nia tampak lebih terang dan ramai. Bendera kuning yang menjadi pertanda duka berkibar lemah di sela pagar besi.
Naya masuk ke area rumah dengan sedikit gugup. Budhe Nia telah dimakamkan subuh tadi, jadi yang ia temukan hanya beberapa pelayat.
"Mas Bagus." Naya menepuk pelan lengan seorang pria yang tengah mengobrol. Pria itu menoleh, lalu mengakhiri obrolan dengan lawan bicaranya.
"Langsung dari bandara?" tanya Bagus melihat penampilan Naya yang agak berantakan.
"Iya, Mas. Maaf banget aku nggak bisa ikut acara pemakaman."
"Nggak apa-apa, Nay. Kamu masuk aja, Juna ada di dalam."
Naya mengangguk, lalu melangkah kembali ke bagian rumah lebih dalam. Sosok Juna terlihat sedang duduk di sebelah anak Budhe Nia. Terlebih dahulu Naya menyalami keluarga inti Budhe Nia sebelum menghampiri Juna.
"Jun," panggil Naya pelan, tak mau mengganggu yang lain.
"Eh, Nay." Juna bangkit dan memeluk Naya. Meski tak menangis seperti anak Budhe Nia, tampak sekali raut sedih di wajah Juna.
"Mbak Naya kapan sampai?" Laras, istri Juna bangkit dan ikut memeluk Naya.
"Barusan, Ras. Dari bandara aku langsung ke sini. Maaf banget aku baru datang."
"Ya ampun Mbak, aku malah ngerasa nggak enak."
Laras mempersilakan Naya untuk duduk di sebelahnya. Mereka duduk dalam diam di ruangan yang sayup-sayup terdengar suara orang membaca yasin.
"Budhe Nia tuh baik banget, Ras," ujar Naya pelan. Laras mengangguk setuju. Meski ia hanya istri dari keponakannya, Laras diperlakukan sangatbaik oleh Budhe Nia.
"Budhe Nia tuh selalu nganggep semua orang kayak anaknya sendiri. Makanya orang-orang yang kost di sini pada sayang sama dia. Kayak Mbak Naya, aku, Mas Bagus. Kita sampai kayak keluarga sendiri."
"Iya." Naya mengusap ujung mata yang terasa basah. Bertahun-tahun dia mengenal Budhe Nia yang menyenangkan itu. Menyadari jika sosok itu telah tiada, hati Naya rasanya hancur.
Cukup lama berada di sana sampai sosok lain muncul dari balik pintu. Setelah mengucap belasungkawa pada keluarga Budhe Nia, dia berjalan pelan menuju ke Naya.
"Apa kabar, Sa?" tanya Naya pada lelaki yang baru datang itu. Alesa mengangguk meski wajahnya sendu.
"Baik, Mbak."
"Istri kamu kandungannya gimana?" Naya bertanya lirih ketika teringat kabar soal kehamilan istri Alesa beberapa bulan lalu.
"Baik, alhamdulillah. Tadinya dia mau ikut, tapi nggak dapat izin dari dokter. Maaf ya, Mas." Alesa melirik Juna yang ikut mendengarkan obrolan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Butterfly is Flying (PINDAH KE DREAME DAN INNOVEL)
Non-FictionPernah mengalami masa lalu buruk dalam hal percintaan membuat Naya tanpa sadar kesulitan jatuh cinta lagi. Semua laki-laki yang menjalin hubungan dengannya, pasti terasa memiliki kekurangan. Seiring usianya yang bertambah, Naya jadi khawatir karena...