1. Maling

25 5 1
                                    

***

Tuk..tuk

Aku menoleh kearah jendela. Ranting kurang ajar! Sumpah demi apapun, aku sangat ingin memotong ranting bahkan pohonnya sekaligus. Pohon mangga, yang jadi sumber dayaku kala buahnya sudah matang. Namun membawa rasa jengkel kala rantingnya yang nakal mulai mengetok-ngetok jendelaku.

Rasa jengkelku pernah memuncak, saat pakaian yang dijemur oleh tanteku, yang kebetulan berwarna putih, nyangkut dipohon itu. Pada malam hari, jantungku mendadak berdetak cepat. Aku tau ini bukan Cinta! Bodoh saja kalau aku menyetujui anggapan kalau itu cinta. Melainkan karna baju yang tersangkut dirantingnya,

Terlihat seperti hantu!

Pada malam itu juga, tanpa berpikir panjang, aku bergegas mengambil gergaji dan memotong rantingnya. Kejadiannya belum genap 3 bulan yang lalu, dan kini, ada ranting junior yang menggantikan profesi seniornya.

"Dasar ranting siala--" sumpah serapahku terpotong. Aku ingat kalau aku ini perempuan, dan perempuan sangat tidak pantas mengatakan itu.

Untung saja aku masih dapat mengontrol gerak bibirku, "Semua salah ranting tidak tau diri itu. Bab--" Kan kan. Aku baru saja bilang kalau perempuan tidak boleh berkata kasar. Thank's to mulut yang masih sempat berhenti.

Sambil menatap sinis jendela, aku beranjak dari tempatku, berniat mengambil golok atau semacamnya yang bisa digunakan untuk memuaskan hasratku, tanpa sekalipun melepas tatapan benciku pada 'sang ranting pujaan hati'.

Diruang tamu, aku melihat tanteku yang sedang ngemil sambil menonton serial TV andalannya yang memang jam tayangnya mulai pukul 7.30 malam.

Ia menoleh menatapku, masih dengan ciki dimulutnya, "Goloknya ada di samping dapur ya say? Santai aja motongnya. Matanya juga dipertajam. Awas, jangan sampai tangan kamu yang kepotong. Semangat say"

Aku memutar bola mata, malas meladeni. Tentu saja aku tau letak golok itu, yang memang sengaja aku buatkan tempat khusus. Tapi, tanteku itu pasti menyiratkan sesuatu dalam perkataannya, seperti "masih aja digangguin saudara sehidup sematimu?"

Bertahun-tahun tinggal dengan dia, sampai-sampai aku menghapal maksud bahasa kalbunya. Aku terus saja melangkah kearah belakang, dan terhenti didepan pintu berwarna coklat. Dengan tidak sabaran, aku membuka pintunya.

Pandanganku langsung tertuju pada golok, yang disinari oleh banyak cahaya, membuatnya berkilau begitu indah. Berdiri dengan begitu tegapnya, memamerkan sisinya yang tajam dan runcing.

"Aku suka gayamu" ucapku pada 'sang penyelamat'

Diruangan itu, bukan hanya ada golok, melainkan juga ada berbagai macam benda-benda tajam yang selalu membantuku, seperti gergaji, gunting rumput, mesin pembabat,dan masih banyak lagi. Semuanya aku simpan di setiap kotak kaca yang memang aku sediakan khusus untuk mereka.

Dengan senyum psycho, aku berlari ke arah kamar dengan golok ditanganku. Dengan gaya itu, aku bahkan tidak merasa takut apabila ia melukai tubuhku. Tanteku bahkan tersedak oleh cikinya, saat melihatku berlari dengan penuh nafsu didepannya.

Kubuka jendela kamarku, saat aku tiba. Dengan pelan, aku melangkah kearah pohon. Dan dengan mata yang berbinar penuh haru, bahagia, dan semua kebaikan lainnya, aku mengangkat golok lalu kuhunuskan kearah ranting.

BATSHH!

Akhirnya, ia pergi dengan tenang.

"Woy! Ngapain lo?"

Aku menoleh dengan cepat kebawah. Disana, Alan berdiri dengan begitu santainya. Di kedua tangannya ada beberapa buah mangga. Mataku berkedip beberapa saat.

"Eh itu golok awas lepas!!" Teriaknya lagi.

Jangan bilang kalau itu, "EH. KAMU AMBIL MANGGAKU YA?!?!"

Alan mengangguk sambil tersenyum. Tangannya mengacungkan manggaku yang sudah dia ambil tanpa seizinku. Melihat senyumnya yang kelewat santai, rasanya aku ingin menangis detik itu juga. Aku..... Sudah memotong ranting tak bersalah itu!

"KOK KAMU NGGAK BILANG-BILANG DULU?!?!" teriakku sambil mengacungkan golok kearahnya. Yah walaupun aku dijendela dan dia dibawah, aku tetap saja ingin melemparnya dengan apapun yang aku pegang.

Sambil mundur beberapa langkah, Alan balas berteriak "Eh eh eh! Itu goloknya dilepas dulu By. Kedorong setan entar! Kalo nggak lo yang mati, ya gue"

Aku memandang golok lalu ke Alan. Begitupun seterusnya. Dan kuputuskan untuk menghampirinya, sebelum aku khilaf melemparnya dengan golok ini.

Sampainya diluar, dapat kulihat dengan jelas, Alan yang berusaha mengendap-endap keluar dari pekarangan rumahku. Dan dengan cepat, aku berlari dan menarik rambutnya sekuat tenaga. Setidak sedikit puas bisa menggapai rambutnya.


"Akh! Sakit woy! Lepas By, entar rambut gue rontok. Emang lo mau nyambungin lagi pake rambut lo? Enggak kan? Lepasin dong By" rintih Alan sambil berusaha melepas cengkeraman tanganku pada rambutnya.

"Itu mangganya, balikin cepet! Aku nggak suka ya, kalo punya aku diambil tanpa seizinku" ucapku dengan tambah mengeratkan cengkeraman

"Tega ya By sama gue. Bunda ngidam By. Lo tega ngebiarin adek gue ileran? Jahat ya sekarang. Udah nggak ada baik-baiknya lagi sama sahabat send--"

Aku mengepalkan kedua tangan didepan dada, kelewat senang dengan ucapan Alan, "Bunda hamil? Iya? Serius? Itu adek Aby apa Alan? Terus bapaknya gimana?"

Rahang Alan terjatuh, 'Nih bocil emang otaknya udah ilang'

Alan menggelengkan kepalanya beberapa kali, dan mulai menatapku " Itu adek gue dan bapaknya ya bapak gue"

Aku menganggukan kepala , "Terus udah berapa bulan?"

"Udah 10 bulan By, bentar lagi lahiran. Yaudah, gue balik dulu. Entar bohongnya gue ketauan lagi" ucap Alan dengan wajahnya yang sangat sangat serius. Aku menganggukan kepala, mengizinkan Alan untuk pulang.

Setelah kulihat Alan memasuki gerbang rumahnya, yang terletak tepat didepan rumahku, aku tersadar dengan '10 bulan kehamilan Bunda Alan'. Dengan gerakan cepat, aku melempar sendalku ke arah Alan yang sedang bertopang dagu, dengan ekspresi jenakanya.

"Gimana By? Otaknya udah balik kagak?" teriaknya dari seberang.

Dan saat itu juga, ingin rasanya aku menimbun kepala Alan dengan tumpukan kotoran hewan!

***

LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang