[5.] Jiyana

70 21 6
                                    

"Darimana aja kamu?!"

Jiyana menoleh takut, "Papah..." Diliriknya dengan ketakutan sang ayah yang berdiri menatapnya tajam dan melipat kedua tangannya ke depan. Jiyana menunduk dan meremas jarinya takut.

"Darimana aja kamu Jiyana?!" Ujar Wijaya dengan tenang tapi itu malah membuat Jiyana semakin takut karena ketenangan sang ayah lebih menakutkan dibanding segalanya.

"A-Aku, aku dari tempat les pah" ujar Jiyana penuh kebohongan.

Wijaya bertepuk tangan, "Hebat kamu sekarang sudah berani membohongi papa kamu!" Ujarnya.

Jiyana mendongak sekilas lalu menunduk lagi, "A-Aku..."

"Darimana aja kamu Jiyana?!" Bentak Wijaya kali ini.

Jiyana memejamkan matanya ketakutan, "P-Pah..." Lirihnya. Justin yang baru saja mau turun mengambil minum terdiam memandang sang kakak perempuan yang sedang dimarahi ayah mereka.

"Jawab papa Jiyana!! Darimana aja kamu tadi?! Papa telepon guru privat kamu tapi dia bilang kamu tidak datang ke kelas!!!"

Mata Jiyana sudah mulai berair karena takut, "M-Maafin Jiya, pah" lirihnya.

"Kamu mulai berani membohongi papa, Jiyana?!!"

"E-Enggak pah"

"Terus kamu kemana aja tadi sampai kamu berani-beraninya membolos les privat!!!"

Jiyana menggigit bibir bawahnya, "A-Aku main sama Ayunda" ujarnya.

Brakk!

Wijaya menendang kursi di dekatnya, "Main dengan Ayunda?" Ulangnya dengan nada tak percaya, "Papa sudah menelepon Ayunda tadi dan dia bilang sedang tidak bersamamu! Kamu mau membohongi papa kamu?!!"

Jiyana mendongak dengan wajah yang sudah basah akan airmata, "M-Maafin Jiya, pah" katanya.

Wijaya mengambil sebuah tongkat kecil namun panjang lalu memerintahkan Jiyana untuk mendekat kepadanya. Dengan langkah pelan dan tubuh bergetar, Jiyana mendekati sang ayah.

"Buka tanganmu!" Suruh sang ayah.

Plakk!

"Ahhh" ringis Jiyana saat kedua telapak tangannya ditebas oleh tongkat yang biasa digunakan sang ayah saat sedang menghukum anak-anak nya.

Plakk!

Jiyana menggigit bibirnya guna meredam ringisan juga isakan tangisnya.

Plakk!

"Berani sekali kamu berbohong pada papa!"

Plakk!

"Bermain dengan Ayunda?!"

Plakk!

"Hanya anak bodoh yang berani berbohong pada orangtuanya!!"

Plakk!

"Mama kamu pasti kecewa melihat tingkah kamu!!"

Jiyana menangis di kamarnya tak mempedulikan luka di tangannya yang memerah bahkan mengeluarkan sedikit darah.

"Kak Jiya?" Panggil Justin pelan lalu memasuki kamar sang kakak membawa kotak P3K.

Jiyana meredam tangisannya, "Kenapa?" Tanyanya dengan suara serak.

Justin duduk di sebelah sang kakak, "Aku obatin tangan kakak" katanya. Lalu dia mengobati tangan Jiyana dengan perlahan, Jiyana masih saja mencoba menahan isak tangisnya walau airmatanya sedari tadi sudah turun deras.

"Maaf kak, harusnya aku nolongin kak Jiya" kata Justin merasa bersalah.

"G-Gapapa kok Tin, ini memang salah kak Jiya" ucapnya tersendat-sendat.

EIGHT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang