Butterfly

365 76 2
                                    


Bermetamorfosis menuju Kesempurnaan

~

Jisoo kini bekerja sebagai kurator dibawah arahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Seoul. Kali ini ia memiliki proyek sebagai penanggung jawab untuk pameran yang akan diadakan di Museum Nasional Korea. Berbagai persiapan sudah selesai ia cek dan pastikan, namun ditengah kesibukannya tiba-tiba saja sekelebat wajah teringat begitu saja olehnya.

Bertahun-tahun berlalu setelah hari itu, dimana untuk terakhir kalinya Jisoo melihat Jennie. Kesan yang sama, tanpa bicara. Hari itu ingin rasanya Jisoo meminta Jennie sekali lagi untuknya, namun Jennie tetap menjauh darinya. Lucu sekali setelah semua itu hingga sekarang Jisoo hanya memikirkan Jennie seorang.

"Aku rasa Jennie adalah satu-satunya bentuk seni yang tidak akan pernah bisa kujaga dan kuabadikan..", lirih Jisoo dengan senyum tipisnya.

Menghela nafas sekali, Jisoo berkeputusan membiarkan pikirannya tetap dipenuhi Jennie.

Sementara itu, arlojinya menunjuk pada angka sembilan tepat. Kurang dari satu jam lagi sebelum pameran dimulai.  Seorang staf pameran baru saja lewat dan menawarinya kopi, Jisoo mengangguk dengan senyum anggunnya. Mungkin merilekskan tubuhnya sebentar sebelum acara bisa membuatnya lebih baik.

Pameran sedikit melengang ketika jam makan siang hampir tiba. Seorang staf memberitahu Jisoo agar ia beristirahat dulu karena sedari tadi Jisoo sibuk dengan para pengunjung.

"Aku akan jeda tepat jam dua belas, terimakasih..", ucap Jisoo pada staf itu.

Setelah staf itu pergi Jisoo kembali berkeliling untuk memastikan apakah ada pengunjung yang masih memerlukan ilmu pengetahuannya.

Mata cemerlang Jisoo mengelilingi satu sisi ruangan yang telah kosong. Namun tepat di ujung ruangan dimana sebuah lukisan abstrak terpampang, seorang wanita tampak terpaku lama dihadapan lukisan itu. Jisoo mendekatinya.

"Anyeonghaseyo, apa ada yang bisa... Jennie?"

Jisoo terkejut karena ia mengenal wanita ber-sweater putih itu. Sementara itu, yang ia ajak bicara terlihat baik-baik saja seolah ia tidak terkejut melihat Jisoo setelah sekian lama.

"Apa kabar?"

"B-baik, aku baik. Kau.. bagaimana bisa disini?", Jisoo masih tidak percaya yang sedang berdiri di depannya adalah Jennie.

"Aku lebih yakin untuk memandangi semua lukisan dan keindahan lain daripada memandangimu, Soo."

Jisoo tenggelam dalam hening. Separuh konsentrasinya untuk memandangi betapa Jennie semakin membuatnya jatuh hati, separuh lagi berusaha mencerna kalimat Jennie.

"Well ya.. Umm aku tahu kau seniman sejati yang tahu mana keindahan yang hakiki..", Jisoo gagal menyembunyikan gugupnya.

Hanya beradu tatap mata yang kemudian terjadi antara dirinya dan Jennie. Jisoo merasakan gelegak di dadanya, seperti dorongan untuk memeluk Jennie. Namun ia urung melakukannya.

"Bisa aku bertanya sesuatu, Soo?"

"Tentu saja, katakanlah."

"Apa yang ingin kau katakan padaku saat ini, setelah melihatku? Katakan sejujurnya."

Jisoo hanya minum segelas kopi hari ini namun dadanya berdegup kencang sekali. Haruskah ia jujur saja?

"Aku.. Aku masih menyukaimu, Jennie ah. Tidak, aku rasa aku men..cintaimu.

Tidak apa-apa untuk penolakan lagi, kau hanya bertanya kan?"

Jisoo buru-buru mengoreksi keadaan karena ia mungkin akan membuat Jennie murka atau mungkin menghilang selamanya setelah ini.

Jisoo menunggu respon Jennie namun gadis itu hanya menatapnya tanpa bisa ia mengerti. Mungkin sepuluh, mungkin dua puluh detik. Jeda yang terjadi diantara mereka sampai Jisoo mendapati telapak tangannya digenggam Jennie. Jennie lalu membawanya ke ruangan kosong di dekat sudut lukisan dan membuat Jisoo kehilangan akal setelahnya.

Dalam kungkungan Jennie padanya, Jisoo tidak tahu harus berbuat apa. Jennie mengungkungnya di dinding dengan tatapan yang mengintimidasi.

"Jennie ah.. Apa yang kau.."

Satu gerakan cepat, lalu yang Jisoo rasakan hanya Jennie yang sedang melumat bibirnya.

Insting Jisoo berjalan begitu saja. Kecupan itu dibalasnya.

"Maaf karena aku terlambat siap untukmu, Jisoo ya. Bisakah aku diberi kesempatan terakhir?", kata Jennie setelah ciuman itu berakhir.

"Aku menunggumu sebagai yang terakhir, Jennie ah. Kau adalah bentuk seni yang kucari, yang kuinginkan untukku sendiri. Tolong percayai aku untuk mengabadikanmu.."

Jennie mengangguk lalu tersenyum.

"Apa yang membuatmu menerimaku akhirnya?", Jisoo penasaran.

Jemari Jennie memainkan anak rambut Jisoo, sentuhan yang bahkan tidak pernah Jisoo ramalkan kedatangannya.

"Aku memperhatikanmu, Kim Jisoo. Hari itu ketika kau tulus membantuku di hari orientasi, atau kapanpun itu setelah hari itu. Caramu bicara padaku, tatapanmu. Aku melihat semua itu.

Kau begitu sempurna dan semua orang menyukaimu. Tapi sejauh yang kutahu, betapapun orang-orang itu menyukaimu kau hanya jatuh cinta pada duniamu sendiri. Kau hanya menatapku ketika orang-orang memohon dengan jelas untuk mendapat tatapanmu.

Aku menyukaimu tapi aku tidak yakin pada perasaanku. Sampai akhirnya aku sadar, kau adalah keindahan paling langka dan hanya satu-satunya yang pernah tercipta. Aku benci jika harus kehilanganmu."

Jennie berbicara panjang lebar dengan tatap mata memuja pada Jisoo. Jisoo tersenyum sebahagianya, setulusnya. Telinganya terberkati mendengar pengakuan cinta Jennie yang sangat berhasil menggetarkan hatinya.

Jisoo sudah tahu apa yang akan ia lakukan untuk meredakan gelegak di dadanya yang tak lekas surut hingga kini.

Berbalik memposisikan Jennie di dinding dan mencium bibir gadis itu lagi. Kecupan yang hangat, intim, seolah rindu untuk saling menemukan telah terobati.

Jemari Jisoo ia sengajakan untuk menyentuh liontin kupu-kupu biru yang sedang Jennie kenakan. Kupu-kupu biru. Jennie adalah kupu-kupu birunya. Spesies paling langka karena hanya Jisoo yang akan memilikinya.

ALTARFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang