"Aku tuh nggak mau sok ngatur soal tempat tinggalmu, Bee. Semua sesuai selera kamu harusnya. Karena kamu yang akan tinggal di situ. Tapi bantu aku dong. Katakan apa mau kamu," kata Orin ketika Berlyn menyetujui apa pun yang dikatakan Orin, tanpa mikir lagi.
"Aku suka semua selera kamu, Rin. No problem bagiku," jawab Berlyn santai.
"Tapi bukan berarti aku dibiarin sendiri dong. Gimana-gimana aku perlu supervisi. Meskipun kamu bilang suka pada semua pilihanku, kan pasti ada lah satu atau dua hal yang kamu kurang sreg."
"Kalau pun ada, aku nggak akan bilang. Percaya deh."
"Itu yang aku nggak suka, Bee. Aku ini kan juga pedagang meskipun kecil-kecilan. Dan aku terbiasa meminta feedback dari pamakai layananku sebagai parameter bagus tidaknya layananku. Jadi sekarang anggap aja kamu itu klienku. Wajar dong kalau aku minta dikritisi?"
Melihat kekesalan di mata Orin akhirnya Berlyn mengalah. Mengabaikan segala gangguan daya tarik dari barang-barang di sekitarnya, pria itu menggamit lengan Orin dan mengikutinya meneliti satu demi satu barang yang mereka butuhkan.
"Kita nggak beli lampu itu? Bentuknya unik," Berlyn menunjuk ke sebuah lampu baca bertangkai panjang dengan gaya vintage berwarna ungu tua keabuan.
"Buat dipasang di mana? Ruang kerja kamu?" Orin mengerutkan kening. "Aku belum memiliki ide bagaimana merombak kandang kamu itu."
"Kandang ya, Rin?" tanya Berlyn geli.
"Apa namanya kalau bukan kandang? Semua berantakan kayak gitu."
"Bukan berantakan. Artsy itu," Berlyn tertawa.
"Bohemian artsy kali."
"Eh tapi aku ingat lho, gadis manis yang dulu kalau ke kantor di tengah hutan, bajunya selalu berwarna meriah. Tasnya ditambal-tambal seru gitu. Sepatunya juga dilukis," Berlyn mengedipkan mata. Pria itu mendeskripsikan gaya Orin lebih dari tiga tahun yang lalu dengan sangat baik.
"Enak aja tasnya ditambal-tambal. Itu sulam perca namanya, Bee," Orin membantah. "Dan bikinnya juga nggak ngasal. Harus dipertimbangkan komposisi warna dan proporsi ukuran motif terhadap medianya."
"Kamu emang seteknis itu ya, Rin."
"Sebab aku bukan seniman, Bee. Kalau aku punya bakat seni yang besar, mungkin aku bisa bikin sesuatu tanpa mikir udah cakep. Nggak perlu pusing cek palette warna, nggak harus buka-buka teori komposisi, dan nggak bingung ketika menentukan style."
"Apa pun itu, it works, Rin. Dan aku suka banget lho sama karyamu meskipun aku nggak paham itu apa. Sudah cukup keren kamu seorang calon engineer yang bagus. Tapi kamu juga oke sebagai crafter."
"Emang kamu paham crafter itu apa?"
"Paham dong. Crafter ya kamu. Nggak usah definisi macam-macam."
Obrolan ringan itu membuat mood Orin melejit seketika. Dengan ceria dia mulai memenuhi satu per satu daftar belanjanya. Dan Berlyn dipaksa untuk sangat bersabar terhadap segala kejelian Orin soal warna. Juga bentuk. Gadis itu mencatat dengan cermat masing-masing perabot yang dibutuhkan, beserta kisaran ukurannya.
"Karena jendela depan nanti akan menjadi fokus ruangan, dan space yang tersedia untuk rak cukup sempit, butuh yang ukurannya nggak boleh lebih lebar dari 90 senti. Tapi juga nggak kurang dari 60 senti."
"Masa sih Rin, kamu nggak mau toleransi dikit aja? Lima senti gitu? Sama pacar sendiri juga," goda Berlyn.
Orin memberi pria itu tatapan keras kepala. "Nggak boleh."
Lalu mereka kembali berdebat soal lampu.
"Belum, Bee. Belum butuh. Emang mau dipasang di mana?"
Berlyn tertawa. "Gimana kalau di belakang sofa?"
"Ha?"
"Bayangin aja, sore-sore, akhir pekan, aku goleran di sofa sambil baca buku. Terus kamu tiduran di pangkuanku sambil menyulam. Kita berdua butuh lampu, kan? Karena jarum kamu ukurannya kecil banget entah berapa mikron. Sedangkan mataku sudah mulai susah baca kalau pencahayaannya kurang."
Orin tertegun.
"Gimana? Oke banget kan?"
Orin mengangguk. "Iya, oke banget. Untuk adegan film. Tapi bukan untuk adegan kehidupan sehari-hari. Aku? Tidur di pangkuanmu? Yakin? Paling juga kamu bakal kesemutan!"
Berlyn mengerang. "Orin, please ... Lampu satu aja. Ya? Ya?"
Akhirnya Orin mengabulkan permintaan Berlyn. Meminta penjaga toko untuk mengambilkan stock barang tersebut di gudang. Dan mengumpulkannya di kasir bersama barang belanjaan mereka yang lain. Saat pembayaran, Berlyn menolak keras untuk antre. Dan menyerahkan dompetnya kepada Orin.
"Kamu nggak khawatir isi rekeningmu aku kuras?"
Berlyn mengedip genit. "Buat kamu, apa sih yang nggak, Rin?"
Dan Berlyn memang gombal banget! Saat Orin terjebak dalam antrean di kasir, pria itu dengan lincah kembali ke bagian hobi. Kali ini giliran aksesoris mobil. Tak lama kemudian, dengan wajah ceria dia menyerahkan satu keranjang penuh berisi aneka lampu, alas lantai, dan entah apa lagi untuk kendaraannya. "Sekalian ya, Sayang. Kan kamu lagi antre!"
Dasar!
Noted: telat hehehehe...
Oh ya, bagi yang penasaran tentang kenapa Orin begini kenapa begitu, semua ada di novel Tough Love ya. Dan Insyaallah akan segera dicetak ulang. Yang minat, silakan nabung dulu dari sekarang.
Dan biar kalian nggak terlalu penasaran, aku sedang nego sama editor, semoga mengizinkan beberapa part awal Tough Love aku post di wattpad. Sehingga kalian bisa punya gambaran gimana sih novel itu? Dan gimana hebohnya Berlyn?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)
ChickLitJLEB! Kamu beneran yakin nih, akan menjalin hubungan serius dengan pria kayak Berlyn? Bukannya dia orang aneh? Gimana nggak aneh, sekarang cowok waras mana yang mau nikahin cewek yang lagi hamil anak pria lain? Semalaikat-malaikatnya Berlyn, dia...