02||Lagi

2 2 0
                                    

" Jangan, selalu memandang orang rendah. Sebab, kita enggak tahu siapa yang rendahan disini."
☔~Raina Sarisha~☔


Maaf ada perubahan, bisa baca di awal lagi😊

🍂🍂🍂🍂🍂
Raina mengayuh sepeda dengan kencang, sebab waktu sudah menunjukkan jam tujuh kurang sepuluh menit. Dengan sekuat tenaga ia terus mengayuh.

Deru nafas yang tidak teratur, turun dari sepeda dan melihat bahwa dirinya benar-benar terlambat. Raina bingung, bagaimana ia dapat masuk.
Baru saja  ingin membalikkan badan, tiba-tiba seseorang memanggil dengan suara yang memekik. Siapa lagi kalau bukan guru yang selalu memeriksa gerbang, memastikan tidak ada yang terlambat.

"Hey, Raina!" panggil Bu Ila dengan berjalan menuju gerbang.

Raina  segeramembalikkan badannya. "I--iya, Bu." Raina sedikit gugup, karena ini juga adalah pertama kalinya ia terlambat.

"Cepat, masuk dan ikut saya." Perintah Bu Ila yang di angguki oleh Raina, karena mau bagaimana lagi, dirinya tidak mungkin memprotes. Lagipula, ini memang salah.

Seperti biasa, murid yang terlambat akan di hukum berdirinya di lapangan atau membersihkan toilet. Untungnya, Raina hanya berdiri di lapangan, meskipun terik matahari yang menyengat di tubuh. Huff! Kenapa harus seperti ini? Apalagi kalau bukan kelelahan bekerja kemarin sampai larut malam dan seperti yang kalian tahu yang hasil bekerja di ambil begitu saja oleh Roni.

"Panas, banget." Raina yang mengipas-ngipasi dirinya dengan tangan kiri.

"Nih, minum!"
Tanpa diduga dari arah belakang, seseorang Menyodorkan sebuah botol air mineral dingin, yang tempat di pipi kanan Raina. Raina yang penasaran, membalikkan badan meski tangan kanannya masih menghormat.

"Lo, lagi." Raut wajah Raina menjadi datar setelah tahu siapa yangememberikan botol minuman itu.

Orang yang si maksud Raina hanya cengengesan, serta membenarkan kacamata minusnya. Ya, tepat sekali dia adalah Windy. Perempuan yang entah dari mana mengajak Raina manjadi teman. Aneh, bukan?

"Sepuluh menit lagi, pelajaran pertama habis. Jadi, enggak mau gitu berteduh," ucap Windy yang memegang botol minuman yang belum diambil Raina.

"Lo, masih normal. Masih suka cowok 'kan?" Raina yang tak habis pikir, kenapa Windy dari kemarin selalu saja ingin berdekatan dengan dirinya.

Jika, memang benar Windy tidak normal. Mungkin saja Raina akan bunuh diri, sebab tak mungkin jika ia harus disukai sesama jenis. Semoga saja tidak.

"Masihlah, lagi pula aku hanya ingin kita berteman."

Windy masih tetap saja melontarkan kata yang sama saat pertama kali pertemuan yaitu 'ingin berteman'. Memang tidak salah, tetapi caranya yang salah seperti orang yang tak normal mengejar-ngejar Raina.

Raina tidak lagi menjawab ucapan Windy, dirinya segera pergi ke kelas. Itupun, bel jam akhir pelajaran pertama berbunyi. Namun, tetap saja, kalau ia baru ingat sekelas dengan Windy.
_______________

Bel istirahat telah berbunyi, dua puluh menit yang lalu. Namun, Raina masih tetap di kelas, meski dirinya dilanda rasa lapar. Ia hanya duduk dan menyembunyikan wajah dari lipatan kedua tangan.

Makan.

Hanya itu yang ia harapan, uang yang biasa dirinya sisihkan setelah mendapat upah, sudah tak ada. Sungguh malang nasibnya, semoga saja ada yang berbaik hati. Namun, tentu saja Raina tidak suka ada yang mengasihinya.

Setelah cukup lama dengan posisi yang sama, Raina berpikir lebih baik ia ke perpustakaan, daripada disini hanya diam saja tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Namun, ketika sampai di depan Raina di cegat oleh Chelsea dan kedua temannya.

"Eits, mau kemana nih, anak miskin?" ucap Chelsea dengan tawa mengejek. Entah kenapa ia tidak menyukai Ratna.

"Minggir! Gue enggak ada urusan sama kalian," jawab Raina dengan ketus, ia sudah malas berhadapan dengan mereka bertiga. Sudah cukup beban dari Pamannya, ia tak mau lagi ditambah dengan yang ini.

"Wow!" seru Chelsea dan kedua temannya, dengan diiringi tepuk tangan. "Bagus, ngelawan sekarang karena udah ada yang bantu. Apalagi orang kaya, jadi aman deh sekarang." Chelsea yang masih memberi tawa mengejek serta diikuti kedua temannya.

"Emang, kan anak miskin cuman manfaatin  yang kayak kita-kita ini," tambah Tiara teman Chelsea yang berbadan tinggi. Dengan tak kalah mengejek Raina.

"Aduh, aduh. Anak miskin mah mainnya juga sama pemulung, ya." Vika, yang sedikit gemuk itu juga ikutan mengejek.

Marah. Tentu saja, harga dirinya diinjak-injak. Kesabaran yang hampir habis ini, masih ditahan. Kenapa mereka malah semakin menjadi? Tetapi, tunggu ... mereka kira Raina memanfaatkan Windy? Tentu tidak, berteman pun saja tidak di terima.

Beginilah, Raina tidak mau berteman dengan Windy. Selalu saja pandangan orang lain akan menyebut dirinya orang yang memanfaatkan teman.

Raina hanya tertawa mengejek juga. "Sorry, tetapi gue enggak seburuk itu. Gue, masih punya harga diri. Tadi, lo bilang gue berteman sama Windy?" tanya Raina dengan tangan yang di tempel dikuping. "Omong kosong, gue sama dia enggak berteman, ingat itu!"

Windy pun bersedekap. "Lagian, jangan selalu memandang orang rendah. Sebab, kita enggak tahu siapa yang rendahan disini."

Raina melenggang pergi, dari mereka bertiga. Chelsea dan kedua temannya, menatap terkejut dan heran. Biasanya Raina tidak akan seperti ini, selalu kalah. Namun, kali ini ia sangat berani untuk melawan.

Tanpa diketahui Windy melihat mereka dari kejauhan, ia bersorak senang ketika Raina melawan Chelsea. Namun, ia juga bersedih karena Raina yang masih tak mau menjadi teman.

_____________

Windy berjalan lemas menuju mobil jemputan, ia tak semangat. Karena, lagi-lagi gagal berteman dengan Raina. Susah sekali ia akrab dengannya.

Harus, berpikir lagi gimana caranya ia dapat dekat. Ini, sama saja seperti cerita cewek yang mengejar-ngejar cowok dingin, tetapi tentu saja Windy tidak seperti itu. Sebab ia ada alasan tersendiri, niat berteman juga tulus, sama seperti tujuan awal saat bertemu dengan Raina.

Perjalanan pulang, seperti biasa. Membosankan, hanya melihat langit serta angin yang lewat dan masuk ke mobil dari kaca mobil yang dibiarkan terbuka.

"Assalamu'alaikum, Windy, pulang." Windy langsung masuk dan berjalan keruang tamu, ia pun duduk di dekat seorang pria yang sedang bersantai.

"Waalaikumsalam, gimana berhasil? tanya pria tersebut, dengan tak lupa menjawab salam Windy.

" Baru aja mulai, jadi ya belum ada hasil. Susah juga, lagian akukan pengen jadi temennya," jawab Windy dengan lemas.

"Ehh, jangan lemes. Katanya masih awal, tapi kok enggak semangat. Masih ingat 'kan pesan waktu itu? ucap pria tadi yang memberi semangat, agar Windy tak menyerah.

" Ia, masih ingat kok. Tenang aja, ok." Kekeh Windy, ia berdiri dan izin ke kamar untuk istirahat serta bersih-bersih.

Pesan itu memang akan selalu Windy ingat, sebab itu juga adalah kesalahan besar yang harus di tuntaskan. Ia menaiki tangga satu persatu, setelah sampai langsung saja berjalan menuju ke kamar mandi.

Kamar yang bercat putih dan merah muda menghiasi kamar Windy, warna yang tak asing lagi bagi seorang perempuan. Memang, tidak semuanya perempuan menyukai warna ini.

Setelah bersih-bersih, Windy merebahkan badannya yang lelah. Hingga ia tertidur, dengan deru nafas yang teratur.

Hay! Balik lagi😊
Maaf ya baru dia 😅😅
Dan juga lama😊





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Windy&RainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang