Esok harinya di sekolah, Olivia dan yang lainnya berada di dalam gugus masing-masing. Hari ini adalah hari psikotes untuk menentukan jurusan yang akan ditempuh para siswa selama tiga tahun ke depan. Suasana riuh menjadi bukti bahwa rasa takut, gugup, dan senang bercampur menjadi satu.Rasa takut akan jurusan yang akan mereka dapat, entah itu IPA atau IPS. Rasa gugup karena mereka tidak tau akan berakhir di jurusan apa mereka kelak, dan terakhir rasa senang karena masa MPLS yang melelahkan ini akan berakhir dan mereka pun resmi dinyatakan sebagai murid SMA Lentera.
Semua itu pun kini dirasakan oleh gadis cantik berambut panjang, Olivia Putri Cassandra. Tak jemu gadis itu memandang pintu yang setengah terbuka, menanti para petugas yang akan memimpin jalannya psikotes ini. Jantungnya berdegub begitu kencang, hatinya berteriak agar para petugas itu jangan dulu datang. Ia belum siap, begitu pula pikirannya.
Tanpa ia sadari, Olivia menggigit ujung kukunya sendiri. Ia berharap cemas, akan kah ia diterima di jurusan IPA seperti harapan ibunya padanya? Ataukah berakhir sebaliknya.
Olivia sudah belajar sebisanya semalam. Harusnya ia bisa menanggulangi rasa gugupnya saat ini. Namun hatinya saat ini tidak mau mendengarkan, ia terus cemas selagi waktu bergulir dengan cepatnya. Tepat dihitungannya yang ke 255, pintu pun terbuka lebar lalu beberapa orang masuk ke dalam kelas mereka.
"Datang, datang," bisiknya pada Melani.
"Selamat pagi, Adek-adek," sapa seorang pria berumur sekitar 25-an berpakaian dinas pada mereka.
"Liv, Liv," panggil Melani disebelahnya. "Kok bapaknya ganteng sih! Masih muda kayaknya. Ya elah ... Kalau dikasih yang ganteng gini mana fokus gue ngisinya. Iya, nggak, Liv?"
Olivia pun menoleh, aneh. "Sekali aja coba fokus, Lan. Lo mah kebanyakan out topic mulu kalau liat yang seger-seger dikit."
Melani pun tercengir, mengakui. Lalu dirinya mencolek pinggang Olivia dan berkata, "Nggak apa-apa kali, Liv. Kan mata gue nggak minus, gue masih bisa dengan jelas membedakan mana cowok ganteng mana yang nggak. Lagian normal kali kalau mengagumi ciptaan Tuhan kayak gitu. Artinya lo masih lurus, nggak bengkok."
Olivia hanya bisa berkedip-kedip saat mendengarkan celotehan Melani padanya. Ngaler-ngidul pembicaraannya membuat dirinya juga pusing menangkap apa yang di maksud oleh temannya itu. Lurus katanya? Bengkok? Apa yang sebenarnya yang dikatakan oleh gadis itu. Olivia sama sekali tidak mengerti.
"Serah lo deh serah."
Tak butuh waktu lama untuk acara sapa-menyapanya, para petugas pun memulai proses psikotes tersebut dan membagikan sebanyak 400 soal pada masing-masing anak. Bagi yang belum pernah melakukan psikotes pun melongo saat pembagian kertas soal tersebut dilakukan. Gila! Sebanyak ini kah soalnya? Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menjawab setiap pertanyaan dalam soal tersebut? Jumlahnya saja hampir meluluh lantakan penglihatan mereka.
"Waktu yang diberikan untuk mengerjakan soalnya adalah 4 jam. Pergunakan waktunya dengan sebaik mungkin. Selamat mengerjakan, Adek-adek."
Kubur kami sekarang! Batin seluruh anak-anak.
---
Selama 4 jam penuh berkutat dengan soal yang banyaknya seperti tumpukan butir beras sekarung, membuat mata setiap anak hampir jeleng karenanya. Mencoba memfokuskan apa yang mereka liat dan terus mengerjakan soalnya sebisa mereka.
Bila dilihat secara detail. Akan sangat jelas terlihat mana anak yang mengerjakannya sungguh-sungguh dan mana yang tidak. Yang bersungguh-sungguh pasti rata-rata adalah anak-anak berprestasi yang mengerahkan segala kemampuannya untuk menjawab soal-soal di hadapannya. Mata mereka akan selalu fokus pada soal, tidak melirik ke kanan dan kiri mereka, dan tidak berbisik meminta jawaban pada teman sebangkunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Time
Teen FictionPernah kah kalian mengingat masa-masa muda kalian? Khususnya untuk kalian yang sudah berumur 30 tahun ke atas. Pernah kah kalian berpikir, bahwa masa muda kalian berlalu dengan begitu cepatnya. Tidak terasa, dan tidak dapat terulang kembali. Kenan...