Reciprocated

227 30 24
                                    

Touka menopang kepalanya ke tangan yang bertumpu ke lutut. Bibirnya berkerut-kerut dan sorot violetnya berbinar tak senang ke arah depan. Tepatnya pada seorang pemuda bersurai keabuan. Yang terlihat amat menawan dalam balutan pakaian militer ala tentara Eropa.

"Tuan Putri Hiyori, saat ini perang telah usai. Harapan-harapan rakyat sudah terjawab. Namun tetap ada banyak hal yang harus dipikirkan mengenai perkembangan negara ini kedepannya." Si lelaki mengumbar senyum lembut dan sorot penuh damba. Lengan kanannya terulur, menanti orang yang dituju membalas uluran tangannya. "Karena itu, bersediakah Tuan Puteri mendampingiku dan membantu membangun negeri ini bersama denganku?"

Namun yang membuat Touka tidak senang adalah tatapan lelaki itu bukan ditujukan padanya. Tangan yang lelaki itu genggam bukan pula miliknya. Melainkan seorang gadis berambut lavender, berpakaian kimono khas Jepang yang terlihat begitu cantik. Ia menaruh tangan di atas telapak tangan lelaki tersebut, senyuman tipis nan anggun terlukis pada raut lembutnya. "Dengan senang hati, Pangeran Juuzo."

Terlebih ketika sang pangeran merundukkan kepala demi menjatuhkan sebuah kecupan pada lengan ramping sang putri. Sekuat mungkin Touka menahan napas serta membungkam teriakan tak terima yang kini tersangkut di tenggorokannya. Sungguh, dalam benaknya sudah tergambar belasan cara untuk merusak momen berharga kedua orang tersebut, akan tetapi ditahannya. Lagipula ia tidak berhak mengacaukan acara di mana sahabatnya sedari kecil itu sudah berlatih susah payah untuk membuatnya sukses.

"Betapa cocoknya mereka bersanding. Kalau nanti sampai ke pelaminan, aku tidak akan kaget."

Dan ketika ucapan blak-blakan—yang seperti sengaja—diserukan dari arah kirinya terdengar, seketika ia lepas kendali. Jemarinya spontan meraih kepala lelaki di sampingnya dan menarik kuat helaian sewarna jeruk itu.

"Diam kau, Nishiki Teme." Touka berujar pelan, tetapi penuh penekanan, sarat akan geram.

"Akh! Lepaskan! Dasar perempuan barbar!"

Tak dihiraukannya protesan-protesan kesal yang ucapkan Nishiki. Pandangannya terfokus ke depan, di mana Kaneki tengah berdiri di depan panggung bersama beberapa orang yang ikut berkontribusi dalam drama ini sembari mengucapkan beberapa kalimat perpisahan, kemudian membungkuk pada penonton. Di sela-sela tirai merah yang mulai jatuh menutupi panggung, senyuman yang terulas di bibir lelaki itu tampak begitu bahagia dan lepas, tanpa beban. Tanpa mengetahui bahwa di antara puluhan orang yang menjadi penonton pentas drama tersebut, ada Touka yang kontradiksi perasaannya dengan lelaki itu.

"Kaneki sialan."

***

Kaneki melangkah keluar ruang ganti dengan seragam lengkap telah terpasang rapi di tubuh serta rambutnya yang kembali mengambil model berponi seperti biasa. Bibirnya tak henti-hentinya menorehkan cengiran bahagia sejak ia turun dari panggung. Bagaimana tidak, peran yang telah didalami dengan penuh kerja keras dan pengorbanan waktu serta pikiran—bahkan ia harus merelakan waktunya yang biasa ia habiskan dengan Touka-nya—akhirnya membuahkan hasil yang terbilang memuaskan. Dan setelah ini ia bisa menjalani hari-harinya seperti biasa tanpa dibebani latihan drama lagi.

Oh, omong-omong soal Touka, ia melihat gadis itu menyaksikan penampilannya tadi. Kira-kira bagaimana reaksinya soal perannya nanti? Apakah akan mencibir dialognya yang terkesan kuno dan sikap sok romantisnya? Atau malah memujinya dengan nada bicara tsundere khas seorang KirishimaTouka?

Ah, pasti menggemaskan sekali.

Kaneki terkekeh geli. Membayangkan hal tersebut malah membuat ia makin tak sabar menemuinya.

"Kaneki, terima kasih atas kerja kerasnya."

Ia agak tersentak ketika merasakan sebuah sentuhan di bahu beserta suara lembut yang menyapa gendang telinganya. Namun semua reaksi itu berhasil ditutupi ketika ia berbalik dan mendapati sang pemeran putri dalam drama yang ia pentaskan sebelumnya berdiri di depannya dengan senyuman kecil.

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang