"Sonja Marselia?"
Aku tidak langsung menjawab sapaan itu. Sibuk mengatur detak jantungku. Laki-laki di hadapanku pun enggan mengeluarkan suara setelah sapaan tersebut, tetapi dilihat dari alisnya yang berkerut dan satu tangannya yang masuk ke dalam saku celana, aku rasa ia tidak keberatan untuk menunggu respon dariku apalagi setelah menyadari tubuhnya yang ikut bergesar dan memersilakan antrian berikutnya untuk memesan.
"Hello? Are you there?"
Kedua mataku mengerjap kala telapak tangan sosok di hadapanku bergerak ke kanan dan ke kiri. Pandanganku menyapu sekitar sebelum akhirnya mendarat pada manik matanya. Satu tanganku yang bebas menempel pada dada merasakan degupannya lagi. Debarannya tidak secepat sebelumnya tetapi masih sama kencangnya seakan-akan jantungku bisa keluar dari tempatnya kapan saja.
Aku berdeham. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku berdeham. Daripada nervous aku lebih merasakan takut. Takut kalau hal-hal yang tidak diinginkan terjadi setelahnya.
"H-h-hai?" ujarku kemudian dengan sepenuh tenaga mengumpulkan tekad tetapi tetap saja ketakutan itu menyeruak menjadi kalimat yang terbata.
Dia terkekeh pelan. "Apa kabar?"
Rasanya aneh ditanyai oleh seseorang yang bahkan sejauh ingatanku bisa capai adalah bukan salah satu orang yang dekat denganku.
"Fine? I guess?" jawabku kemudian yang juga tidak yakin dengan keadaanku sendiri.
"Mau join? Anak-anak lagi pada ngumpul tuh."
Ibu jarinya menunjuk ke belakang. Ke arah gerombolan pemuda yang aku dapati tengah bersendau gurau sebelum memasuki cafe. Ritme detakan jantungku tidak terkontrol lagi. Manikku memindai satu persatu gerombolan tersebut dan terhenti ketika sosok dihadapanku kembali buka suara.
"Kalau cari dia, dia nggak ada."
Tanpa sadar aku menghembuskan napas penuh kelegaan. Sayangnya sosok di hadapanku yang kini tengah bersandar di meja pemesanan dengan ditopang oleh kedua sikunya tidak membiarkanku untuk hidup tenang.
"But, he'll be here soon," Ia melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, "sekitar lima belas menitan lagi. I wonder his reaction if he know that you ever be in love with his bestfriend."
"Loved. Past tense, Candrasa."
Aku selalu tidak suka dengan cara bicara Candrasa. Rangkaian kalimat yang keluar darinya terlalu tajam dan tidak terdengar ramah walaupun sebenarnya ia lebih sering mengungkapkan kebenaran pun memang menyakitkan.
"Loved? It never happened, Sonja. You never love Raven, are you?"
Checkmate.
"Satu iced mint tea dan dua cinnamon rolls," ucap pelayanan dengan menyodorkan satu nampan yang berisi pesananku.
Aku langsung menarik nampan tersebut. Aku menatap Candrasa tepat pada maniknya sebelum memutuskan beranjak dari tempatku saat ini.
"Berhenti mengurusi kisah cinta orang lain. Kisah cintamu sendiri masih perlu kejelasan yang Mulia Han Candrasa Adhiguna."
Ekor mataku mendapati Candra menyeringai sinis namun aku tidak peduli. Aku berjalan melewatinya menuju tangga yang berada di sudut ruangan sebelum sempat terhenti karena suara berat yang sangat aku kenal itu menyapa gendang telingaku.
"Sonja?"
Tanpa menoleh aku melanjutkan langkahku tanpa acuh dengan sapaan itu. Aku berharap ada pintu kemana saja milik Doraemon setelah aku menaiki anak-anak tangga yang entah mengapa seperti tidak ada habisnya. Napasku terengah dengan kedua tangan yang bergetar. Aku meletakkan nampan berisi makananku di salah satu meja—mencoba menenangkan diri—tetapi sepertinya Tuhan tidak membiarkanku hidup tenang hari ini karena degup jantungku makin menjadi—nyaris meledak—ketika suara langkah kaki seseorang semakin terdengar mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
/lêgap/
Short StoryWhen two not-even-strangers meet and talking both sense and nonsense.