Tidak ada perbedaan yang mencolok dari Bara yang ada di hadapanku saat ini dengan Bara yang sering mengisi hari-hariku tiga tahun yang lalu. Selain tinggi badannya yang—suprisingly—masih bisa bertambah sekitar lima senti dan juga rahangnya yang menajam. Ada lingkaran hitam samar yang kentara di bawah mata dimungkinkan karena terlalu banyak begadang—aku menelaah sesuai survei selama setahun bersamanya. No debat, oke?—dan juga pipinya yang lebih tirus, tanda kalau Bara mengonsumsi Indomie lebih sedikit dari ketika ia bersamaku—kali ini asumsi asal.
Selain bentuk fisik dan warna rambutnya yang berubah kecokelatan tidak ada perubahan signifikan lain yang bisa kutemukan dari Bara. Ia masih menjadi pria yang suka memakai kaus di balik flanelnya dipadu dengan ripped jeans warna gelap. Hanya saja ketidak konsistenannya kali ini cukup membuatku terkejut. Pasalnya Bara yang bersamaku dahulu tidak pernah ragu untuk melakukan sesuatu yang memang kewajibannya atau sekedar keinginannya—termasuk meninggalkanku.
Lantai dua dari cafe ini berbentuk balkon berlantai kayu yang dihiasi berbagai tanaman rambat dan gantung di beberapa sisi dengan kursi besi berwarna hitam senada dengan pagar batas balkon. Sepoi angin masih bisa kurasakan ketika daun-daun tanaman gantung mulai saling bergesekan sebelum akhirnya menerbangkan anak-anak rambutku. Aku juga bisa melihat birunya langit dan sesekali burung yang kebetulan melintas. Satu-satunya hal yang tidak bisa kulihat saat ini ialah arah tujuan pembicaraan Bara.
"Sonja ... aku ... gimana ya ngomongnya," Jemarinya yang panjang menyugar rambut sebelum punggungnya menghantam pelan sandaran kursi dengan pandangan menengadah ke langit-langit. Aku hanya terdiam menyaksikan atau lebih tepatnya menunggu kelanjutan kalimat Bara, "Aku ngerasa bersalah karena ninggalin kamu gitu aja tanpa mau denger kamu terima atau engga atas kepergianku."
"Terus sekarang kamu mau dengerin tanggapanku atas kepergian sepihakmu?"
Bara yang awalnya menengadah langit-langit dengan sigap meneggakkan duduknya dan menatapku, bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri bergantian memandangi manikku, seakan menungguku berdialog. Tubuhku bersandar pada punggung kursi dengan tangan terlipat di depan dada. Kali ini aku beranikan diri membalas tatapannya.
"Sejujurnya bukan situasi seperti ini yang mau kuhadapi waktu ketemu sama kamu, Bar."
Kedua kelopak mata Bara mengedip sekali. Aku mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya membuang harga diri untuk melakukan pengakuan bagaimana menderitanya aku tanpa sosok Bara.
"Tapi kalau kamu emang mau segera ke bagian akhir pertemuan ini sih aku bisa apa?"
Bara menelengkan kepala, ada kerutan yang terlihat di antara dua alisnya. "Tunggu? Maksudnya?"
"Bara ... kamu kira kalau kita bahas ini, semua akan baik-baik aja kayak semula gitu?"
"Tapi bukan berarti kita harus benar-benar selesai dan nggak saling kenal kan, Son?"
Aku dapat merasakan intonasi Bara mulai meninggi. Sedangkan aku terpaku mendapat respon demikian. Kedua mataku membelalak tak paham. Beribu tanda tanya berterbangan dalam benakku.
"Bar? Aku beneran nggak ngerti? Kamu sendiri yang bilang kalau mau nyelesein masalah kan?"
"Ya tapi aku nggak mau lost contact sama kamu lagi, Son. Kamu block semua sosial mediaku dari instagram, twitter, whatsapp, line, semuanya! Semua akses bener-bener kamu tutup. Aku nggak mau kayak gitu."
Semestinya aku happy nggak sih karena masih dipertahankan Bara? Tapi tubuhku bereaksi berlawanan. Tiba-tiba dingin menusuk, aku dapat merasakan tanganku bergetar dan juga air mataku yang kembali berbaris rapi di pelupuk.
Kalimat yang dilontarkan Bara secara cepat dengan intonasi yang lebih tinggi dari sebelumnya sama sekali tidak membuatku bahagia. Aku malah merasakan kesedihan menyadari keegoisan Bara sedangkan dia adalah sosok pencetus ide ya-kalau-dengan-block-bisa-bikin-hidup-kamu-lebih-damai-ya-lakukan thingy.
KAMU SEDANG MEMBACA
/lêgap/
Kısa HikayeWhen two not-even-strangers meet and talking both sense and nonsense.