Aku terpaku dalam diam. Tubuhku beku, lidahku kelu. Kelopak mataku bahkan lupa berkedip membuat bola mataku terasa kering sampai dehaman itu sontak membuatku terperanjat dan berhasil membuat kelopak mataku bergerak.
"Kamu kabarnya baik kan, Son?"
Suara berat itu. Suara berat yang selama ini hanya ada dalam angan-anganku, hanya dalam impianku semata kini hadir begitu dekat dan nyata. Maniknya lurus menatapku yang tentu saja membuatku salah tingkah dan mengalihkan pandangan ke penjuru arah selain maniknya.
Aku berdeham—demi Tuhan tenggorokanku sama sekali tidak gatal tetapi bagaimana caranya bersikap normal saat kita berada di antara senang sekaligus berduka sih?!—kemudian mengangguk.
"Kayak keliatannya. I'm fine. Gimana UK? Happy there?"
Bara tersenyum kilat. "I'm happy there but happier here."
"Karena di sana harga Indomie lebih mahal ya, Bar?" tanggapku diakhiri dengan tawa yang sebisa mungkin kubuat natural berharap Bara tidak menyadari tingkahku yang aneh dan detak jantungku yang berdegup kencang seperti sedang dikejar ribuan Hiena.
Bara tergelak—sepertinya acting pura-pura tertawaku berhasil. Ia menenggak botol entah Thai Tea atau kopi susu—hanya asumsi asal—sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan yang membuatku sukses berkeringat. Aku tidak tengah melakukan tindak kriminal tetapi rasa-rasanya seperti tengah dituduh mencopet di depan umum.
"Kamu masih sama Raven?"
Harusnya dengan mudah aku menjawab "tidak" atau "itu hanyalah masa lalu" tetapi mulutku enggan membuka suara dan malah menghindari tatapan Bara untuk kesekian kalinya. Aku merasakan tetes-tetes keringat membasahi punggungku. Demi Tuhan aku lebih baik dicecar berjam-jam oleh Kahim daripada harus menghadapi pertanyaan yang selama ini paling aku hindari.
"Sonja? I'm talking to you."
Aku mendongak membalas tatapannya sepersekian milisekon sebelum akhirnya manikku berpindah pada minuman yang balok-balok esnya sudah mulai mencair.
I'm not fucking cheater but why I feel like one?
"Aaa ... mmm ...," Aku memutuskan untuk meminum iced mint tea yang rasanya sudah hambar kemudian meletakkan kembali setelah seperempat gelasnya kosong, "pertanyaannya tiba-tiba banget. I thought you will save it for the last. Hehe."
HEHE. Kenapa aku harus tertawa kering seperti itu? Sonja is a fucking dumbass.
"Karena aku mau menyelesaikan masalah di antara kita. Aku pikir aku udah jahat ninggalin kamu tanpa nunggu tanggapan kamu, tapi waktu tahu kabar kamu jadian sama Raven kayaknya udah kejawab sih kalau kamu udah move on. Tapi kenapa aku masih tetep tanya ke kamu ya."
Kalimat terakhir Bara ucapkan secara lirih tetapi masih dapat ditangkap oleh pendengaranku. Bukan rasa tidak terima atau ingin balas dendam yang aku rasakan tetapi malah rasa berbunga dan harapan. Harapan bahwa Bara setidaknya masih menyimpan tempat untukku dalam pikirannya karena akan terlalu berlebihan meminta tempat di hatinya. Aku tidak sekurang ajar itu.
"Cuma tiga bulan," jawabku yang seketika membuatnya berhenti mengusap-usap punggung lehernya, "aku sama Raven cuma tiga bulan aja karena setelahnya kita sama-sama ngerasa kalau cukup jadi teman."
"Sorry to hear that."
Aku menggeleng dengan senyum tipis tersungging di bibirku. "Don't be. Kita jadi lebih baik dari sebelumnya kok. Kalau kamu sendiri gimana? Udah ada cewek?"
Sebenarnya aku tidak siap mendengar jawaban Bara tetapi keingintahuanku lebih besar dibandingkan kesiapan hatiku untuk dihancurkan oleh jawabannya.
Bara menganggukkan kepala.
Aku menarik pernyataanku yang mengatakan siap untuk dihancurkan hatinya because I am not. Dadaku mencelos seketika. Rasanya seperti mimpi ketika tidak sengaja kedua kaki melangkah ke dalam jurang dan kemudian terjatuh dari ketinggian, begitulah nasib jantungku saat ini. Ia masih berdebar tetapi terjatuh dari ketinggian dan meninggalkan kehampaan yang menyesakkan.
"O-oh ... I-I am happy for that," responku terbata. Setengah mati menahan air mata.
Aneh, bagaimana aku masih bisa menangis karenanya? Kukira stok air mata untuk pria yang kini tengah duduk di hadapanku sudah habis tetapi ternyata mereka hanya bersembunyi untuk momen ini.
"Are you? Because I'm not. Aku belum bisa nemuin yang bisa bikin nyaman kayak kamu, Son."
Bara ... kamu benar-benar pemain hati yang ulung. Bagaimana bisa dengan mudahnya menarik ulur perasaanku seperti ini? Bara ... aku harus apa? Harus bahagia karena ternyata masih dicinta oleh kekasih orang, begitu? Atau aku harus terluka karena apa yang diucap tak selaras dengan tindak?
"Bara ... jangan membuat masalah baru kalau masalah lamamu sama aku aja belum selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
/lêgap/
Short StoryWhen two not-even-strangers meet and talking both sense and nonsense.