01. Yana dan kebiasaannya

7 2 0
                                    


Pernah tidak, sih, kalian melakukan hal yang dimata orang lain disebut bodoh? Ah, pasti pernahkan? Mungkin seperti itu juga Yana. Menolak tawaran berangkat bersama Papinya dan memilih untuk menunggu seseorang yang berharap mau mengantarkannya demi sebuah misi untuk bisa berdekatan dengannya. Meskipun sebenarnya si pemilik kendaraan itu hanya setengah ikhlas mau memberi tumpangan gratis pada gadis yang sedang duduk di depan pagar rumahnya seperti gelandangan.

"Aduh ... sumpah, deh, lo akhir-akhir ini ngaret banget berangkatnya. Kalau telat gimana? Terus dihukum gimana? Mau lo?" dumelnya dengan kesal. Ia memakai helmnya dan duduk jok belakang montor Rama.

"Terserah gue lah. Ini salah lo kalau tetep nungguin gue." Yana hanya mampu merengut sebal sambil merapihkan anak rambutnya di wajah yang membuatnya risih.

"Bodo amat, deh! Gue nggak mau tahu. Pokoknya berangkat secepat mungkin. Kalau enggak gue kasih rambutan baru tahu rasa lo!" ancamnya sambil menepuk pundak Rama, membuat si pengemudi montor vario keluaran terbaru itu mendumel sebal. Bisa-bisanya ia punya tetangga seperti Yana? Merepotkan saja!

"Dasar benalu!" ejeknya tidak membuat Yana sakit hati. Tenang saja, ia sudah biasa dengan ucapan pedas nan menyakitkan dari pria itu. Yana, mah, udah kebal.

"Ya, bodo amat ...! Emang gue pikirin?" Rama hanya mampu membulatkan matanya sebal. Percuma ngomong sama bocoh songong dan keras kepala ini. Buang- buang energi saja.

Motor mulai berjalan menembus jalanan di kompleks rumah hingga akhirnya mereka sudah berada di jalan raya. Rama fokus dengan pikirannya. Begitupun Yana yang sedang senyum sendiri karena bisa berangkat bersama pria ini. Aduh, hatinya jadi berbunga. Yah, meskipun ada sedikit pertengkaran. Biasalah, Bun, orang lagi kasmaran memang suka begitu. Akhirnya moodnya juga kembali lagi meskipun dengan hal sederhana.

Saat asik-asiknya duduk manis di belakang Rama sambil menyanyikan lagu hivi berjudul remaja dalam hatinya, ia melihat seseorang dari belakang tengah mengejarnya. Yana melototkan matanya. Waduh, gawat, nih!

"Ram, Ram, ada preman ngejar kita, deh, kayaknya!" ujarnya sambil menepuk pundak Rama.

"Iya, gue tahu. Ngapain, sih, preman itu ngejar kita? Kayak gak ada kerjaan aja."  Yana menggigit bibirnya. Wah, wah, bahaya, nih. Yana kembali mengingat kejadia kemarin saat dirinya lagi-lagi menggagalkan aksi kejahatan mereka dengan menjahilinya saat akan mencopet.

Iya, menjahilinya. Contohnya di dalam angkot kemarin, saat si pencopet hendak mengambil diam-diam dompet dari tas ibu-ibu di depannya, Yana tiba-tiba bertanya tentang tas itu dan memuji-mujinya kalau tasnya sangat bagus.

"Wahh, bagus sekali tasnya, Bu! Beli di mana? Kayaknya Mami saya bakalan seneng kalau dikasih hadiah tas ini." Si Ibu berambut sepanjang telinganya itu tersenyum senang. Ia segera meraih tasnya dan menunjukkannya padaku. Otomatis, tangan preman botak yang gatal ingin mengambil benda berharga dalam tas itu mundur secara perlahan.

"Iya, Dek. Ini baru aja beli. Kemarin. Hahaha, suami saya yang beliiin. Harganya, sih, ya lumayan. Ibu seneng banget. Hahaha," ucapnya dengan tawa kecil. Matanya penuh binar kebahagiaan saat mengingat momen di mana Ibu itu diberikan suprise dengan hadiah tas ini.

"Iya, Bu. Saya jadi niat banget pengen beliin Mami saya tas ini. Limited edition, ya?"

"Enggak, kok. Soalnya, sayang juga sama duit kalau dibuat tas branded yang harganya bikin ngelus dada. Meskipun harganya enggak terlalu mahal, tapi tas kulit ini kualitasnya bagus dan cocok dengan saya." Aku mengangguk dengan senyum kagum.

"Iya, sih, Bu. Tapi, jangan sampai lupa di resleting tasnya. Nanti ada yang ngambil sesuatu dalam kesempitan, loh, Bu!" Ibu itu lantas melihat tasnya. Ia benar-benar terkejut dan baru tersadar.

CIRCLE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang