23. Tak Berkehendak

361 81 137
                                    

Aku nggak pandai kasih rekomen lagu. Tapi, andalkan aja lagu paling sedih menurut kalian.
Selamat menikmati♡:)
_____________________________________

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙙𝙪𝙖 𝙋𝙪𝙡𝙪𝙝 𝙏𝙞𝙜𝙖 :𝙄𝙩𝙪 𝘼𝙠𝙪, 𝙍𝙖𝙝𝙬𝙖𝙣𝙖

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝙅𝙪𝙯 𝙆𝙚𝙙𝙪𝙖 𝙋𝙪𝙡𝙪𝙝 𝙏𝙞𝙜𝙖 :
𝙄𝙩𝙪 𝘼𝙠𝙪, 𝙍𝙖𝙝𝙬𝙖𝙣𝙖.



.
.
.

ーR E N J A H W A N Aー

"Renjana, kenapa diem aja?" Tanyaku tatkala menyadari gelagat Renjana yang tak seperti biasa.

Taruna yang duduk di samping kananku ini menoleh, melipat bibirnya ke dalam. Setitik gurat kegelisahan terpatri di paras tampannya.

"Apa Ayahmu galak? Kira-kira, bagaimana citraku di pandangan Ayahmu nanti? Bagaimana kalau ..."

Aku tersenyum memerhatikannya. Telingaku masih setia mendengar segala celoteh penuh kecemasannya. Kugenggan tangan kirinya erat.

"Kalian sama-sama manusia. Nggak perlu mencemaskan hal-hal berlebihan kaya gitu. Bukannya udah aku ceritain seberapa baiknya Ayahku, waktu di ruang lukis?"

Netra kami saling mengunci untuk beberapa detik setelahnya. Sebelum senyum menenangkan milik Renjana terbit.

"Terima kasih, Anja. Untuk semuanya. Rasa-rasanya, aku adam yang paling beruntung. Bisa mencintai dan dicintai kamu. Sekali lagi, terima kasih."

Bukankah sudah kukatakan beribu-ribu kali, kalau aku tak pernah bosan menyesatkan diri dalam labirin sorot teduh Rahwanaku?

"Aku makasihnya besok-besok aja, waktu kamu ulang tahun. Biar momennya pas."

Renjana terkekeh. Mengusak rambutku pelan.

"Kamu tahu Bukit Bintang, 'kan?"

Aku mengangguk mantap. Orang Jogja mana yang tak tahu Bukit Bintang?

"Tapi belum pernah ke sana. Papah sama Mamah selalu sibuk kalau aku ajak," aku merengut.

"Nggak apa-apa. Di Jakarta juga ada tempat yang seperti itu. Besok-besok, kita pergi berdua ke sana ya?"

Bukan Anjani Arunika Kemala kalau tak mengangguk antusias dengan mata penuh binar.

Kami turun dari halte yang hanya terpaut seratus meter dari lapas Barakuda. Berjalan di trotoar yang bisa dibilang sepi. Maklum, lokasinya berada di sekitar lapas.

Selama berjalan kaki, tak ada obrolan di antara kami. Earphone merah milik Renjana yang menyumbat sebelah telinga kami dan genggaman eratnya yang tak pernah lepas dari tanganku, sudah lebih dari cukup untuk mengisi kesenggangan ini.

Sesampainya di gerbang, aku menoleh ke arah Renjana yang menghentikan langkahnya. Anak ini mendongakkan kepala, menatap lamat-lamat papan gapura.

Renjahwana ft. Huang Renjun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang