B

20.4K 3.7K 536
                                    

Kutatap wajah Denny yang tampak letih. Tapi aku tak lagi peduli, bodo amat toh bukan aku yang membuatnya menjadi seperti itu. Meski sebagian perasaanku tetap mengatakan tidak tega. Tapi ya sudahlah, harus ditega-tegain. Ini kesempatan terakhirku berbicara di depan keluarga sebelum semua terlambat.

Sekali lagi, aku harus berusaha menahan emosi sekaligus airmata. Agar terlihat tegar di depan semua orang. Meski sebenarnya susahnya minta ampun. Bertarunglah dengan elegan, Gayatri. Jangan cengeng, apalagi minta dikasihani. Paling tidak pertahankan hakmu. Bukan kamu yang harus merasa nggak enak. Tapi dia!

"Kamu mau bicara apa?" tanya laki-laki bajingan itu akhirnya.

Aku menarik nafas dalam, kemudian menghembuskan secara perlahan. Sayang tadi lupa untuk stretching. Mengumpulkan segenap tenaga, aku mulai bicara.

"Aku bukan ingin bicara tentang masa lalu. Hari ini, aku hanya ingin bicara tentang uang. Tolong kembalikan uangku yang selama ini ikut membayar DP dan cicilan apartemen, juga biaya pesta.

Aku tidak akan bisa tenang, kalau aku dulu yang bersusah-susah bekerja, lalu orang lain yang menikmati. Lagi pula aku butuh biaya untuk melanjutkan hidup, jangan lupa kamu sudah turut andil membuatku jadi pengangguran." Ucapku sinis sambil melirik Cinta yang tertunduk. Sok minta dikasihani.

Semua terperangah, termasuk kedua orangtuaku dan orangtua Denny.

Kuangsurkan semua bukti pembayaran. Totalnya cukup lumayan . Dimana ada deretan angka yang nolnya mencapai delapan digit. Itu adalah hasil keringat selama bertahun-tahun. Beruntung aku orang yang disiplin dalam memegang arsip, apapun itu. Sehingga kini semua bisa menjadi bukti.

"Aya, tolong pikirkan dulu, ini tentang adikmu yang tengah hamil. Tentang nama baik keluarga kita." terdengar suara ibu.

Seketika darahku mendidih. Ibu memikirkan perasaan Cinta? Lalu aku? Kutatap ibu tajam.

"Tolong Ibu juga pikirkan, bagaimana aku bekerja keras mencari uang. Jam berapa selalu berangkat dan pulang kantor. Bahkan sering lembur sampai pagi kalau akan ada pameran dan harus melakukan perjalanan dinas.

Jangan mencoba mencari rasa simpatiku, Bu. Bukan aku yang membuat malu. Aku hanya mempertahankan hakku. Atau ibu mau, aku juga tinggal di apartemen itu? Kemudian melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Cinta?..."

"Aya!"  Ayah memotong ucapanku.

Namun aku tak lagi gentar, setelah tamparan Ayah tempo hari. Lukaku sudah terlalu dalam. Kembali kutatap sepasang orang pencipta masalah dalam hidupku.

"Kamu kerja di Bank Den, dengan posisi kamu, aku rasa bukan hal sulit untuk mengabulkan permintaanku. Ya terserahlah bagaimana caranya." Ucapku, meninggalkan embel-embel  mas, yang sudah melekat selama bertahun-tahun.

Denny menatapku tajam. Pria itu mengepalkan tangannya, kelihatan kalau ia merasa sedang diremehkan. tapi aku tidak takut. Kalau ia berani mengatakan satu kalimat saja. Maka akan kuhabisi dia.

"Aku tidak peduli pada apapun Aya. Kamu ambil saja apartemen itu. Besok aku akan mengalihkan atas nama kamu."

"Aku tidak butuh apartemen, Den. Kamu tahu kan aku sekarang pengangguran. Dan aku tidak akan sanggup membayar cicilannya. Aku mau cash." Ucapku.

Semua terdiam. Sampai akhirnya ayah bersuara.

"Biar ayah yang membayarnya, Denny. Kalau itu bisa membuat Aya puas. Cinta, inilah harga dari perbuatan kalian. Kalian berdua berhutang  pada ayah."

Darahku kembali mendidih melihat pasangan itu hanya menunduk. Apa mereka tidak malu kalau ayah yang membayar hutang mereka? Kalau Cinta sih jangan ditanya, nggak mungkin dia punya uang sebanyak itu. Selama ini juga lebih sering meminta pada ayah dan ibu. Meski katanya sudah menjadi asisten designer ternama.

USIA 34 /OPEN PO/Versi EBOOK tersedia Di IBUK.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang