D

18.2K 3.9K 598
                                    

Aya

Aku terbangun pagi itu dengan perasaan hampa. Mestinya hari ini adalah hari pernikahanku. Saat yang kutunggu setelah sekian lama. Drngan persiapan yang sudah selesai seratus persen. Entah bagaimana kabar gaun dan kebaya pengantin yang  berada di kamar. Semua sudah kutinggalkan, dan takkan pernah mengenakan di depan banyak orang.

Kutatap cuaca mendung diluar sana. Sama seperti suasana hati saat ini. Tubuhku terasa lemah, tidak ada kekuatan lagi. Begitu banyak kata seharusnya yang berputar dikepalaku. Tapi kenyataannya, aku berada disini sendirian.

Entah kenapa, airmataku kembali turun. Sesuatu yang tidak pernah habis selama beberapa hari terakhir. Meski sebenarnya aku bosan menangis. Sayang, tubuh dan pikiranku tidak bisa bekerja sama. Keinginanku tidak diterima oleh tubuhku.

Kuraih handuk, dan kembali menghapus airmata. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku membutuhkan guyuran air untuk menenangkan pikiran.

Selesai mandi aku turun,  Bi Elis sudah berada di dapur sambil mendendangkan lagu Tibelat favoritnya. Nyanyian usang tak pernah berubah sejak dulu. Aku saja sampai hapal pada iramanya.

Tak ingin mengganggu, aku mencoba mencari kesibukan. Saat berada diteras, tampak halaman rumah yang belum disapu. Penuh dengan dedaunan gugur. Kuraih sapu, lalu mulai bekerja.

Seorang pria yang mengenakan pakaian olahraga sepintas sederhana memasuki halaman. Tapi mataku bisa tahu kalau kaos LV yang dikenakannya asli. Juga sepatu Nike  yang tidak beredar di Indonesia. Meski hanya bercelana pendek merk Adidas. Aku bisa menghitung berapa harga outfitnya.

"Hai Bang Sadha." Suara Andien nyaring terdengar dari belakangku.

Aku mengabaikan mereka, kembali meneruskan kegiatan menyapu halaman.

"Hai juga Andien, apa kabar?" balas pria itu sopan.

"Baik, lagi cuti, Bang?"

"Iya, kamu?"

"Cuti juga, coklatnya masih ada, Bang?"

"Banyak, kalau mau ke rumah aja."

"Asiiik." Teriak Andien kegirangan.

"Ini, pembantu baru kamu yang nemenin Bi Elis?" Tanya pria itu lagi.

Seketika aku menghentikan kegiatan lalu  melotot padanya. Sementara Andien segera menyemburkan minuman yang terlanjur masuk kedalam mulutnya lalu tertawa dengan keras. Dengan santai pria itu melepaskan kacamata dan menatapku.

Kuakui dia ganteng, meski jelas belum mandi. Tapi mengataiku pembantu? Kulirik daster merahku. Andien semakin tertawa keras.

"Sorry Bang Sadha. Ini kenalin sahabat aku. Namanya Gayatri. Aya, kenalin tetangga gue. Bang Sadha."

Pria itu terlihat tidak kaget, kurasa kalimatnya tadi hanya pura-pura. Segera ia mengulurkan tangan, yang kusambut dengan malas.

"Sorry, saya nggak tahu. Sadhana."

"Gayatri." Jawabku singkat.

"Abang masih mau jogging?"

"Sudah selesai. Ayo katanya mau ke rumah. Mami pasti senang."Ucap pria itu.

"Aku ajak Aya ya, Bang."

Pria itu hanya mengangguk.

"Abang tunggu ya ,Ndien." Ucap pria itu sambil beranjak memasuki halaman rumahnya.

Kulirik sahabatku yang tampak kegirangan.

"Ayo, Ya.  Jangan di rumah terus. Elo butuh jalan-jalan."

USIA 34 /OPEN PO/Versi EBOOK tersedia Di IBUK.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang