Cakrawala tampak tergambar dengan kepekatakan hitam yang masih menutupi sang surya. Di balik dinginnya udara yang melingkupi jiwa dan raga, ada banyak harapan yang tersimpan bagi setiap manusia. Termasuk bagi Bentala dan Bumantara. Mereka baru saja memulai memupuk asa yang selalu menjadi semangat bagi keduanya.
Bentala membawa cangkul serta arit yang tersampir tepat dipinggang ringkihnya. Di pagi buta, berlampu petromaks tergenggam di tangan kanan. Melewati lorong-lorong sunyi yang terhimpit dengan suara hewan, menyiarkan ketakukan. Pohon berwarna kuning, berjejer mengiringi langkah menapaki perbukitan. Dengan terbatuk-batuk, ia menyusuri jalan setapak yang dipenuhi rumput dan bebatuan.
"Bumantara!" teriak Bentala, menyerukan sebuah nama.
"Iya, aku di atasmu. Cepat naiklah!" terdengar suara, menggelegar memenuhi gendang telinga.
"Biarkan aku di sini saja, selesaikan tugasmu dulu," ucapnya, sambil mendongak menghadap ke atas.
"Iya, kita harus lebih giat kali ini," pinta Bumantara.
Senyap, tak terdengar sahutan dari Bentala. Bumantara memilih meneruskan pekerjaan yang tertunda, karena waktu terus berputar mengelilingi mereka berdua.
Terik sang surya, telah terpancar menyelimuti semesta. Membakar setiap yang diterpa termasuk kulit Bentala dan Bumantara. Keduanya, terlalu sibuk untuk memoles diri. Berbekal pasir-pasir yang menempel di sela kulit mereka, menjadi tanda kerja keras keduanya. Dinding-dinding kokoh yang terbangun di tengah padang sabana, adalah impian mereka berdua setelah terpisah bertahun-tahun lamanya.
Bentala yang kerap kali mengabaikan Bumantara. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk membalas sikap saudara kembarnya. Ia terlalu sayang pada Bentala. Bahkan, sering kali ia memandikan Bentala dengan guyuran air yang telah ditampungnya. Untuk membahagiakan Bentala, ia rela mendekap susah asal saudaranya bahagia.
Lonceng yang terpasang di pintu masuk bangunan, berdenting berkali-kali. Rumah berdinding dari kayu, tampak lampuk mengelilingi setiap sudut ruangan. Beralas tembikar, yang disebut sebagai lesehan adalah tempat berteduh bagi keduanya. Kini, angan mereka adalah sama. Membangun rumah kedua, yang sempurna.
"Ada seseorang yang datang!" Bentala berteriak. "Biar aku saja, kau kembalilah bekerja," tambahnya sambil menaruh cangkul.
Bumantara melihat kedatangan seseorang menggunakan tudung hitam, yang membawa rasa penasaran dalam benaknya. Ia kembali bekerja, menekuri bangunan yang sebentar lagi selesai digarap. Meskipun terik mentari menyelimuti, semangatnya tak juga surut. Kegigihan dalam setiap kerja kerasnya, akan segera berdiri kokoh membentang di tengah padang.
Bentala kembali, setelah sang tamu berpamitan dan berjanji akan kembali di hari esok. Senyumnya berkembang, menghiasi wajah yang tampak kemerahan terkena matahari. Kerja kerasnya sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Rencana-rencana yang tertulis di kertas usang, akan terpampang menjadi kenyataan. Tinggal menunggu waktu, kapan segalanya akan terpasang.
"Bumantara!" teriaknya dengan lantang.
"Ada apa lagi? Ayo bergegaslah, Matahari sudah berada di atas kepala kita. Jika terlambat akan sia-sia perjuangan kita. Sisa sedikit lagi," ucap Bumantara secara retorik.
"Turunlah sebentar," pinta Bentala. "Ada kabar baik yang ingin kusampaikan," tambahnya sambil tertawa.
Bumantara, turun melewati setiap undakan, yang berjejer rapi di bawah telapak kakinya. Ia tercenung saat berada di hadapan Bentala. Netranya menapat lekat pada bongkahan kardus yang berada di belakang Bentala. Apakah pendengaran atau penghilatannya yang buram? Padahal sedari tadi ia tidak mendengar seseorang sedang menjatuhkan barang ataupun keributan saat membawa bongkahan tersebut.
"Apa itu?" Bumantara mengarahkan telunjuknya.
"Seperti yang kamu lihat," ujarnya sambil membuka topi caping dari kepalanya.
"Apa-apaan kau!" teriaknya. "Cepat kembalikan, aku tidak mau," titahnya terdengar resah.
"Urus saja urusanmu!" Bentala melangkah keluar bangunan, meninggalkan Bumantara yang terlihat meringis kesakitan.
Bumantara tercengang mendengar penuturan saudara kandungnya. Ia pias dengan segala kenyataan yang kini sedang menderanya. Bagaimana ini semua bisa terjadi? sedangkan ia dan Bentala sudah berjanji akan memperjuangkan segalanya secara bersama-sama. Bumantara meratapi pengkhianatan yang dialaminya. Baru saja Bentala pulang dengan membawa segala penyesalan. Dan, kini ia memilih kembali bersama orang-orang yang tega memperlakukannya dengan curang.
***
Segala yang tercipta, akan kembali memenuhi kodratnya sebagai penghamba. Deretan kisah yang secara sukarela menemani setiap petualangannya, menjadi pelajaran berharga yang tak terduga. Jika takdir berkata merah dan lidah berkata putih, sungguh mustahil terjadi tanpa ada perantara Sang Tuhan Maha Pencipta.
Deretan kisah telah terekam jelas dalam benak Bumantara. Ia tak ingin mengulangi kesalahannya yang kedua kali. Padahal ia tahu, jika hal tersebut dapat merusak segala yang ada pada dirinya. Ia biarkan netranya mengeluarkan butiran bening, yang sejak kemarin menggenang dalam relung batinnya. Meratapi ketidak sanggupannya membiarkan saudara hidup mandiri, serta menampung segala beban yang ada dipundaknya.
"Aku pamit saudaraku," pinta Bentala sambil merangkul Bumantara ke depan halaman bangunan yang mereka bangun bersama.
Bumantara tersenyum sumir mengiringi langkah saudara yang membawa bongkahan kardus yang digeret dengan lima keledai putih.
"Tak selamanya aku bisa memberimu air, jika kau jauh dari jangkauanku. Berhati-hatilah Bentala!" teriaknya memebumbung tinggi.
Bentala tersenyum dan menganggukkan kepala, serta meninggalkan Bumantara sendiri berteman dengan ladang yang bergelimang air. Perlahan bentala hilang ditelan kabut, yang menjadi penghalang antara dunia mereka.
"Papa, ini apa?" tanya seorang anak kecil yang sedang memegangi sebuah miniatur globe.
"Ini bumi, Nak," ucapnya menjawab tatapan sang buah hati yang terlihat kebingunan.
"Bukan itu, Paaa..., " rengeknya sambil menggelengkan kepala. "Isi di dalamnya?" tanyanya dengan menampilkan wajah polos.
"Isinya tanah, minyak, serta manusia yang supeeerrr banyak." Sambil membentangkan kedua tangannya, sang Papa kemudian memeluk putrinya. Si buah hati hanya mengerjapkan netranya, lalu kembali berjalan mengitari toko buku.
"Ini... ini Pa?" telunjukknya mengarah ke buku dengan sampul berwarna biru.
"Kalau ini gambarnya langit, yang selalu memayungi bumi," jawabnya sambil mengambil buku. "Itu yang putih namanya awan," ujarnya seraya mengusap sampul buku. Kemudian, keduanya berlalu membawa globe dan buku bersampul langit biru yang terlihat mengilap diterpa cahaya.
Tamat
Oleh NurainiAini277
Grup 1 :Rempah-rempah
KAMU SEDANG MEMBACA
FANTASY STORIES
NouvellesKumpulan cerpen karya dari member Korex genre Fantasy. Semoga kalian menyukainya🤗