LIFE IN THE MOONLIGHT

13 1 0
                                    

Aku menutup mata di saat Brian berteriak kencang dari lantai atas. Suara erangan terdengar jelas bercampur dengan rintihan lalu sorot mata tajamnya mengarahku, seakan mencari mangsa.

"Orang gila jenis apa yang memasang jebakan di pintu kamar huh?"
Dengan tenang aku mengunyah roti isi keju lalu memalingkan wajah. Sudah diduga, pasti bocah menyebalkan itu akan mempermasalahkan semangkuk tepung yang kuletak hati-hati di ambang pintu. Rasakan, siapa suruh dia masuk ke kamarku seenaknya? Tidak ada bukan?

"Kakak?!"
Tanpa berniat memedulikannya, kuteguk segelas susu hingga tandas lalu menyambar tas sekolah yang berada di samping kursi. Abaikan anak laki-laki itu, yang pasti aku harus pergi sebelum gerbang sekolah terkutuk itu tertutup kembali.
____

Dan beruntung...
Aku menghela napas lega seraya mengusap dada dengan perlahan. Meski bukan tergolong siswi yang baik namun bukan berarti aku menyukai pelanggaran. Aku benci pelanggaran meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa aku terkadang melakukannya.

Ah ya,contohnya seperti membawa tongkat hitam dengan panjang dua jengkal jari ini.
Aku tidak ingat namun samar-samar yang pasti saat itu aku tidak sengaja membuka kotak kecil yang terletak di gudang sekolah saat hari bersih-bersih gotong royong tiba. Aku ingin menggunakannya, setidaknya itu alasan mengapa tidak terlambat sekolah merupakan jadwal yang paling kuprioritaskan sekarang.

Brugh!

"Ah! Maaf!"

Dua hingga tiga siswa belasan tahun seperti diriku berlari menyusuri koridor kelas. Kekanak-kanakan, apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa hal itu bisa membahayakan orang lain?
Dengan setengah kesal aku memungut tongkat sulap yang bergelinding beberapa langkah dariku lalu kembali memasukkannya ke saku. Menyebalkan, pandangan tajamku tidak dapat lagi menjadi tatapan polos yang mengangap segalanya tidak terjadi apa-apa. Bagaimana juga  ketiga orang tadi bukan sekali membuat kesalahan seperti ini.
Menabrakku dengan sengaja huh? Itu hanya alasan bukan?

Memasukkan sampah-sampah kertas ke meja belajarku setiap harinya, menyembunyikan buku pelajaran hingga membuatku kerepotan untuk mencarinya dan ah ya benar juga, bukannya gara-gara warna rambut ini yang mengundang mereka untuk melakukan kejailan lebih banyak lagi?

Jika orang lain memiliki rambut berwarna kepirangan, cokelat atau pun hitam maka aku memiliki warna yang terlihat aneh. Hijau? Ah ya, meskipun panjang dan ikal namun tetap saja dilihat dari sudut pandang manapun menjadi sasaran perhatian dan tatapan orang-orang.

"Selamat pagi, Hazel!"

Aku tersentak begitu sebuah tangan mendarat di bahuku dengan kuat. Lindsey, siswi terkenal di sekolah ini. Jangan tanyakan seperti apa penampilannya, jauh dari kata natural dan herannya mengapa dia begitu percaya diri dengan penampilan anehnya? Rambut bercat biru selehernya yang berantakkan, kuku yang dihias dengan motif zebra, dan...
Percayalah, dibandingkan penampilanku harusnya dialah yang menjadi sorotan dan bahan olokan dari orang-orang.

"Mau mencoba ini?"

Aku menggeleng cepat, mendaratkan tubuh di kursi belakang. Tempat yang bagus untuk memerhatikan betapa serunya orang-orang lain berbicara dan tidak menjadi bahan perhatian. Ya, seandainya Lindsey jauh lebih peka akan gestur tubuhku yang tidak nyaman saat bersama dengannya.

"Ah, padahal aku sedang memberi penawaran bagaimana jika rambut hijau itu dicat menjadi biru sama sepertiku? Tapi sayang sekali ya, aku jadi iri dengan rambut hijaumu."
Aku memalingkan wajah ke jendela kelas. Orang aneh, dia sedang apa maksudnya? Memperolokkan rambutku atau memang benar-benar iri dengan keanehan yang kumiliki sejak lahir ini? Bagaimanapun jawabannya, aku juga tidak peduli.

"Kau ini memang tidak bisa menghargai orang lain ya?"
Sontak aku membulatkan, memerhatikan seseorang yang menyeret bangku kosong di samping kananku. Suara bass yang begitu asing. Ah, bahkan aku tidak pernah melihat wajahnya selama ini.

Aku menatap tajam, dibalas tawaan renyah olehnya, "Disaat orang lain menjailimu kau membenci mereka dan disaat orang lain mencoba mendekatimu kau malah mengusirnya."

"Bukan urusanmu," ucapku ketus.
Kini dia mengangkat bahu, mata birunya tampak teduh sebelum larut pada buku edisi saku yang dibacanya.
Life in the Moonlight.
____
Kupikir inilah saat yang tepat untuk menggunakan tongkat sulap ini. Ya, di saat bel masuk pelajaran setelah istirahat, buku pelajaranku kembali hilang dan tertangkap basah sedang berada di laci milik siswa bagian depan. Menyebalkan, orang-orang yang tadi mencoba menabrakkan tubuhnya kepadaku tadi pagi kini melakukan kejailan kembali.”

"Sstt... hei jangan gunakan dulu."

Dalam sehari entah berapa banyak aku menoleh pada pemilik bangku kanan. Wajah dan mata bundar itu memerhatikan dengan tenang lalu memberi isyarat berupa gelengan pelan. Huh? Si tukang ikut campur itu? Dia pikir aku akan menurutinya?

"Sudah kubilang jangan," Ayunan tanganku yang mencoba menyulap dua orang yang sedang mengerjakan soal di papan itu terhenti seketika. Dia orang yang duduk di bangku kananku kini berbicara dengan tegas, ah tidak bahkan mata birunya itu... tunggu! Kenapa aku merasakan hawa dingin disini? Seperti disaat musim salju akan dimulai?
Dia melepaskan cengkraman dari tongkat itu begitu memerhatikan raut wajahku yang panik.

"Namaku Danny, kau?" ucapnya dingin, mencondongkan tubuh hingga tersisa jarak berapa senti dari wajahku.

"H-Hazel," ucapku gemetar, menelan ludah. Hawa dingin yang menjalar di permukaan kulitku lenyap seketika disaat ia menjauh, kembali menyandarkan punggung di kursi dengan tenang.

"Hazel, jangan gunakan tongkat itu untuk sembarangan orang. Jika kau ingin menggunakan dan membuktikannya maka kau bisa melakukannya padaku, tapi bukan sekarang saatnya, mengerti?"

"Hah?" Aku mengerjapkan mata lalu mengernyitkan dahi dengan heran. T-tunggu! Menggunakan tongkat ini padanya? Sebenarnya kekuatan apa yang dimiliki tongkat ini sampai hanya boleh kugunakan pada dirinya?!
_____
"Danny! Hei Danny!"

Aku berjalan cepat seraya meneriaki nama seseorang yang baru saja kukenal. Gila? Kuakui iya, memanggil nama seseorang, berbicara duluan, bahkan sampai mengejar seperti ini bukanlah ciri khas diriku sama sekali.

"Tunggu aku!"

Tanpa peduli menjadi sorot perhatian di sekeliling kini aku berlari menghampirinya yang mulai memperlambat langkah. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, melangkah tenang bersamaan dengan wajah tenangnya. Mana mungkin Danny yang kulihat di kelas tadi dirinya, Danny yang seperti ini mana mungkin bisa.

"Apa kau tidak pernah mendengar sebuah nasehat ‘semakin besar kekuatanmu maka yang perlu kau lakukan hanyalah diam dan nenggunakan kekuatan itu seperlunya?"
Aku membelalakkan mata, "Kau bisa membaca pikiranku!"

"Terlihat dari wajahmu," ucapnya tenang, melirik sekilas ke arahku.
"Kau ini sebenarnya memiliki sifat seperti apa? Tadi kau ramah dan hangat lalu bersikap dingin. Ah! Sekarang bersikap tidak peduli."
Dia mengangkat sebelah alis, menyebalkan, "Bukankah sifatmu itu sama sepertiku?"

"Hah?"

Sontak telapak tangan kebar mendarat di puncak kepalaku. Belum sempat menepisnya, ia tertawa pelan, berhasil membuatku menoleh seketika. "Kau tidak peduli, seenaknya memutuskan segala hal seorang diri, tapi kau juga bisa jadi orang paling berisik yang pernah kutemui."

"Cih," Aku memalingkan wajah dengan kesal. "Sekarang jawab pertanyaanku Danny, aku belum pernah melihatmu sebelumnya dan tiba-tiba saja kau memerintahku untuk tidak menggunakan tongkat itu, sebenarnya apa maksudmu?"

"Orang lain bisa melihatku jika ia menyentuh tongkat itu dan kau baru beberapa hari ini menyentuhnya bukan?"

Langkah kami terhenti seketika tepat pada sebuah pohon besar di tengah taman kota, begitu rindang dan berhasil membuatku membayangkan akan jauh lebih indah bila setiap daunnya berkilauan. "Jadi hanya aku yang bisa melihatmu?"

Ia mengangguk dan bodohnya aku tidak dapat lagi menahan rasa tersentak di saat ia tiba-tiba saja menghilang dan duduk dengan santai di salah satu batang pohong yang terlihat kuat. Konyol? Ah! Apa mungkin aku sudah gila sekarang?!

"Suatu hari nanti kau harus menghancurkan pohon ini dengan tongkat itu, Hazel. Sebelum dia mengamuk dan bisa menghancurkan kota ini," ucapnya lembut lalu tertawa pelan disaat ekspresi wajahku terlihat jelas seolah mengutuki betapa bodohnya ia menjelaskan hal yang tidak masuk akal seperti ini. "Pohon ini terlihat indah namun tidak seharusnya hidup di sini, jika ketidakwajaran itu terus berlangsung maka akan menimbulkan hal yang berbahaya bukan?"

"Aku bisa menghancurkannya sekarang," ucapku sinis, setengah menatapnya meremehkan.
"Tidak bisa," Untuk kedua kalinya ia tertawa pelan sesekali menggoyangkan kedua kakinya seperti anak kecil yang bermain di sebuah ayunan. Ah, seandainya aku bisa mengenalnya lebih dalam.

"Pohon ini tumbuh karena kehendakku, masalahku yang belum terselesaikan disini. Ia tidak akan mudah dihancurkan begitu saja seperti manusia menebang pohon lainnya, kau harus tahu itu?"

"Hah?" Dahiku mengernyit, setengah mencondongkan tubuh. "Jadi maksudmu, jika aku menghancurkan pohon ini maka kau juga akan mati? Hei! Tunggu! Kau bilang apa barusan?! Jadi kau bukan manusia sepertiku?!"

Dia menyunggingkan senyum lalu tertawa kuat sersya memegang perutnya kegirangan.
"Tenang saja, kau dan aku sebenarnya tidak jauh berbeda, Hazel."
_____
Sebulan. Ah tidak, mungkin tepatnya beberapa hari lagi akan menjadi sebulan dimana aku hidup dengan seseorang yang berada di luar akal sehatku. Pohon yang akan mengamuk, dirinya yang bukan manusia sepertiku, lalu....

"Kakak! Ahhh!"

Aku memejamkan mata kembali memeluk guling dengan erat. Brian. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan, anak laki-laki itu selalu berteriak tidak jelas di tengah malam hanya untuk membangunkanku agar berlari ke kamarnya dengan cepat.

"Kakak! Tolong aku!"

Tak tahan lagi, sontak kusibakkan selimut lalu berlari cepat menuju kamar sebelah. Tidak, kini mataku membulat, ia tidak mengerjaiku, selimut dan kamar itu berantakkan begitu juga dengan kamar yang terbuka lebar berhasil angin malam memasuki ruangan, begitu kencang.

"Kakak!!"

Aku mencondongkan tubuh, mencari sumber suara melalui ambamg jendela kamar. Danny, hanya itu yang terlintas di pikiranku sekarang. Benar apa katanya, pohon besar di tengah taman kota waktu itu kini jelas berada di depan rumahku, berjalan dan bergerak tidak terkendali dengan remaja laki-laki yang tertunduk, membenamkan wajah di balik kedua lutut itu.

"Danny!"

"Siapa yang kau panggil? Harusnya kau memanggilku, Bodoh!"

Decihan tidak dapat lagi kutahan, Brian yang setengah panik itu masih saja sempat mengutuki diriku pada situasi seperti ini. "Berisik! Atau aku tidak akan menolongmu!"

"Danny!" Aku memanggil namanya. Tidak cukup dengan itu, kini kucoba untuk melanglah pada batang pohon yang bergerak tidak terkendali itu. Pelan-pelan dan hampir saja terjatuh jika tidak sempat berpegangan pada salah satu batangnya tersebut.

FANTASY STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang