Matahari sedang terbit di wilayah itu, tapi kelewat gelap seolah malam pekat. Barangkali yang membuatnya tampak bersinar kemerahan nan menyingsing di langit adalah ledakan-ledakan, keberadaan benda-benda yang melayang aneh penuh ancam. Sebuah pertempuran.
Pada kerajaan di sebuah negeri luas dengan kemegahan bangunannya yang luar biasa. Bertembok marmer putih dan kaca-kaca yang meliuk, berkubah mengkilap entah batu atau logam. Yang pasti ... harusnya indah, harusnya asri dengan rerumputan dan danau yang berdenyar lembut, harusnya damai. Kalau bukan bom-bom dan serangan magis yang dihantamkan dari udara, dari angkasa yang menghancurkan keindahan wilayah itu.
Kerajaan itu luas, sampai-sampai sulit melihat ujung setiap sisi, setiap perbatasan. Tapi entah kenapa langit yang jelas-jelas lebih luas bisa tertutupi oleh armada-armada musuh, memancarkan kebengisan kejam yang membabi buta. Dan tapi, tak ada serangan destruktif satu pun yang bisa menjangkau tanah. Ada sebuah pengalang kasat mata yang melindungi wilayah itu, membatasi antara daratan dengan langit. Berkat ledakan-ledakan yang membentur penghalang di udara pada seluruh penjuru tersebut, memunculkan pemandangan matahari terbit merah nan mengerikan.
"Mereka adalah ras yang rakus." Suara itu mengalun rendah, alih-alih sarat kemarahan justru terdengar prihatin. Dia seorang wanita dewasa dengan rambut putih bersinar yang panjang dan melambai-lambai seperti ombak. Dia berdiri di samping jendela besar di sebuah ruangan mewah nan luas. Memandangi langit dengan mata putih tanpa emosi, saking kosongnya malah tampak menyedihkan.
"Kalian turunlah ke bumi, hampiri dan bersatulah dengan manusia-manusia bijak." Dia terbatuk pelan tapi berselang lama, menyuarakan perutnya yang terkoyak karena kekuatan yang dialirkan secara berlebih.
Perintahnya tersebut ditujukan kepada sepuluh siluet kecil yang meremang di kegelapan. Mereka tak menjawab, mereka tidak punya kemampuan itu, tidak punya kesadaran—bukan makhluk hidup.
Yang menjawab justru sosok wanita lain yang berpakaian pelayan. "Ratu, kenapa tidak menggunakan mereka untuk kita sendiri?" Dia bertanya tak percaya. "Ras kita tidak punya kekuatan untuk menyerang."
Benar, berbeda dengan musuh di udara yang kini sedang menggempur wilayah mereka dengan kekuatan penghancur besar-besaran, mereka tidak dibekali kemampuan yang sama. Namun sebaliknya, mereka punya kekuatan pelindung yang sangat kuat, yang bisa menahan serangan musuh entah seefektif apa. Tapi mereka memang ditakdirkan untuk itu, jadi pelindung. Mereka adalah ras pelindung.
"Tidak." Sang Ratu tak mau mengakui, karena punya fakta yang meyakinkan. "Putra-putraku bisa mengalahkan mereka, kalau kuperintahkan." Matanya melirik keberadaan dua lelaki di garis depan. "Memang kalau menggunakan senjata maka kita seketika bisa melancarkan serangan. Tapi kalau sejauh itu pertahanan kita masih tertembus, bukan hanya musuh bisa merebut portal, mereka juga akan memiliki senjata ini lagi. Selanjutnya kehancuran lebih tak terelakkan."
"Meski begitu, apakah Anda justru mempercayai manusia?" Si pelayan masih kurang terima, karena sang Ratu lebih memedulikan ras lain ketimbang ras mereka sendiri.
"Tanah manusia punya sumber kehidupan, sumber kekuatan yang luar biasa. Aku tidak bisa membiarkan musuh kita ini menjajah bumi." Kulitnya yang pucat makin terlihat tak sehat, Ratu sedang kesakitan. Tapi dia tak gentar. Selaras dengan waktu sepuluh siluet yang ia sebut senjata itu menghilang ditelan portal, matanya mengernyit tajam menghadap langit kembali. Bahkan dengan mulut yang menetes-neteskan darah, ia akan menahan serangan sampai akhir.
Dua ras di luar bumi tersebut berperang. Peristiwa itu seabad yang lalu, peristiwa itu tidak diketahui manusia mana pun. Peradaban manusia sendiri berubah. Tahun-tahun bermula bersama sejarah baru. Yang harusnya senjata diturunkan untuk mencegah kekacauan, malah meletuskan perang tak berkesudahan.
Perang sihir. Peradaban sihir.
.
.
.
.
NOTE : Terima kasih terutama pada @kimonoz dan @nao yang berhasil ngedukung saya masuk sini :D Salam kenal untuk semuanya :D Bimbinglah pemula ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESECRATE
FantasyNaruto bukan membenci sihir, cuma kurang minat saja dalam menekuni ilmu tersebut. Ia lahir di Kota Lima, yang kerap dipandang rendah oleh Kota lainnya. Lemah, kampungan, terbelakang soal sihir ... begitulah anggapan orang-orang dari wilayah lain. Ta...