Anak Pahlawan

333 26 4
                                    

Sudah seminggu, dan mudah saja bagi Naruto untuk merindukan rumahnya di utara; harum udara dingin yang menusuk, harum buah-buahan segar yang baru dipanen sebelum masuk bok-bok, dan kekontrasan warna rumput serta tumbuhan di atas ladang yang baru diolah. Apa saja dari sana makin membayang-bayanginya, padahal masih sebentar—belum sebulan, belum setahun, belum empat tahun. Kalau saja bepergian antar wilayah mudah dilakukan, Naruto pasti bakal merencanakan pulang pada akhir pekan.

Sekarang jam istirahat, baru saja bel dibunyikan. Naruto langsung berdiri dan melangkah keluar kelas, setelah guru Rin yang juga menghilang di koridor. Ia kagum pada sosok wali kelasnya tersebut, menepiskan pikirannya yang sempat muncul pada awal masuk ke sekolah ini minggu lalu—anggapan tidak ada orang yang cukup ramah nan bersahabat.

Yah, mungkin Naruto memang terlalu berlebihan memikirkan situasi di Kota lain. Nyatanya ada orang-orang yang punya sikap menyenangkan, yang cocok dengannya.

"Kau tidak ke kantin?"

Seperti mereka, para perempuan kelas Healing. Walaupun kurang tepat juga kalau disebut kecocokan.

"Sebentar lagi." Naruto mengulas senyum biasa, cuma sekejap. Mereka membalas seadanya pula sebelum melangkahi koridor lagi.

Yang satu bernama Sakura, memang ceria sekali bak musim semi—sewarna musim semi. Satunya lagi Karin, Uzumaki. Yang kontan terkejut ketika berkenalan dengan Naruto waktu itu, mengetahui ia memiliki marga yang sama. Tapi Naruto menjawab bahwa itu kebetulan, semata-mata kesamaan marga yang umum terjadi. Dan bagusnya perempuan itu percaya-percaya saja.

Uzumaki adalah salah satu dari sekian klan besar yang punah, terbabat habis selama perang saudara. Mereka bukan klan sihir, tapi rata-rata anggota yang bisa sihir cukup terkenal kuat pada masa itu. Senju juga termasuk klan yang berakhir tragis bak daun musim gugur yang meluruh rontok, mati satu-persatu sebelum masa damai. Tepatnya sesaat menjelang masa damai, anggota klan yang merupakan penyihir kuat nan aktif makin berkurang. Hingga sekarang kalaupun ada orang yang berdarah Senju, mereka bukan penyihir.

"Kau masih suka makan siang saat semenit sebelum bel masuk, atau kau ikut denganku sekarang," seorang murid dari kelas Dimension, menawari ajakan—setengah memerintah itu kepada Naruto. Dia lelaki, tinggi dan berkulit putih pucat. Rambutnya sehitam arang, matanya lebih hitam dari itu. Wajahnya datar tapi nampak dingin sekali, tak mau repot-repot mengendurkan alis dan menarik sedikit sudut bibirnya.

"Kau dikerubungi gadis, aku malas." Naruto menanggapi dengan dengusan. Lebih baik jadi lebah ketimbang madu, lebih baik lagi kalau musang hutan nan penyendiri. Tapi sekalipun sikap lelaki itu mirip-mirip musang beringas, anehnya tetap saja dikerubungi lebah—populer.

"Ya sudah," lelaki itu pergi meninggalkan Naruto.

Yang sebenarnya paling sering bersama perempuan adalah siapa?

Namun ternyata Naruto menjajarinya sebelum jauh dari lima meter. "Aku makan di cafe."

"Kau kira aku butuh teman?" Jawab si murid Dimension. Entah bagaimana mulanya lelaki itu jadi sasaran ucapan sarkastis Naruto, yang kontan menjadikan mereka jadi teman akrab—bukan keakraban yang normal.

Dia adalah Sasuke Uchiha, anak dari kepala klan peranakan penyihir asli Senjata Langit ilusi. Mestinya mengingat afinitas klan mereka yang kebanyakan pencipta badai api dan sihir ilusi, Sasuke alih-alih masuk kelas Sorcery atau Phantom justru memilih Dimension. Tapi itu tak mengherankan, ada beberapa anggota Uchiha yang mahir teleportasi. Barangkali si bungsu itu memang tertarik.

Suasana di luar; di halaman, di taman, di bangku-bangku bawah pohon serta sebelah semak-semak boxwood yang dibentuk elok ... sangat hidup berkat murid-murid yang duduk di sana. Angin musim semi yang makin menghangat membuat mereka merasa nyaman untuk berada di luar.

DESECRATE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang