Gedung asrama dibangun bersisian dengan sekolah, tapi tidak di area yang sama—barangkali supaya tidak ada murid yang menggunakan fasilitas di luar jam sekolah. Bangunan itu alih-alih mirip asrama malah lebih pas disebut apartemen megah nan elite. Dua gedung besar dipisah jalur melingkar dengan rumput dan pohon-pohon yang memenuhi tanah, serta juga kolam air mancur yang besar dan nampak khas di tengah-tengah.
Bangunan itu memuat laki-laki dan perempuan secara terpisah. Sekolah tidak mewajibkan muridnya untuk tinggal di asrama, tapi kalaupun memilih tidak, biaya sekolah tetap sama. Jadi itu membuat semua siswa memiliki akses kamar meski nantinya dihuni atau tidak. Namun bukan berarti dapat keluar masuk seenaknya, asrama tetap memiliki aturan dan jam malam.
Keesokan pagi, Naruto baru selesai sarapan ketika membuka tirai dari jendela kamar—kaca besar yang biasa ditemui di hotel mewah. Ia menangkap banyak siswa yang sedang melakukan olahraga pagi, berlarian di atas paving dari jalur masuk yang panjang atau sekedar peregangan di rerumputan hijau nan luas. Ia sedari kemarin langsung ke asrama dan berdiam diri di kamar seharian tanpa melakukan hal yang jelas, hampir kebosanan. Ruangan itu kedap suara, selagi di dalam ia tidak tahu apa-apa yang terjadi di luar. Baru pagi ini ia melihat pemandangan dan kehidupan dari murid-murid Sekolah Sihir tersebut.
Bagi yang bisa memasak, murid dapat memesan bahan makanan ke pengawas asrama dan langsung diantar. Naruto kebetulan sekali biasa memasak makanannya sendiri, berkat keputusan keluar dari panti asuhan sejak masuk SMA dan tinggal di apartemen murah. Ia pikir, sekolah ini memfasilitasi muridnya dengan baik, tak main-main. Wajar sekali jika biaya masuknya saja seharga sebuah mobil mewah masa kini. Ia belum tahu bagaimana kondisi di dalam sekolah, fasilitas pembelajaran serta alat-alat sihir apa saja yang ada di sana. Pasti mengagumkan, pasti lebih baik ketimbang akademi militer.
Seragam—blazer murid dibedakan per tahun; pertama putih hitam, kedua putih abu, ketiga putih dongker dan keempat putih marun. Yang sama nan khas adalah lis emas yang nampak serasi. Dan yang membedakan tiap kelas adalah pin logam membentuk lambang seukuran koin yang tersemat di atas saku. Misalnya untuk Casty adalah pedang palu, atau Bracy yang berbentuk dua kepalan tangan, serta lainnya.
Beruntungnya, tidak ada sesuatu atau bentuk yang menandakan asal Kota seseorang. Jadi tidak memunculkan kesenjangan antar murid yang berpotensi mendiskriminasi satu sama lain. Tidak seperti militer, seragam loreng tentara berbeda-beda tiap Kota. Di gabungan militer pun meski mereka berarti satu pasukan, nyatanya barak-barak dibangun di tempat yang berbeda—menggolongkan tiap asal prajurit. Jadi kebijakan Sekolah Sihir yang menyetarakan semua murid dengan satu bentuk seragam patutlah dianggap hal yang bagus.
Namun entah diskriminasi memang tidak ada sama sekali, atau malah menjadikan seseorang cukup tergoda untuk mencari tahu asal Kota satu sama lain. Praktisnya, yang berasal dari Kota Lima adalah sasaran mereka. Tapi untuk menghindari itu, informasi pribadi tiap murid berada di penyimpanan terenkripsi di dalam server sekolah—tak bisa diakses siswa. Sekali lagi, Sekolah Sihir ternyata meletakkan perhatian dalam-dalam mengenai permasalahan tersebut.
Tepat pukul delapan, Naruto berangkat. Sekalipun tempat asrama bersisian, berjalan kaki ke sekolah nyatanya menghabiskan waktu lima belas menit. Memang kalau diperkirakan, luas area sekolah dan asrama bisa sampai seukuran desa.
Naruto berangkat bersamaan dengan siswa lain yang nampak menghidupi jalanan, didominasi oleh tahun pertama dan kedua—warna dongker dan marun cuma menghiasi di sela-sela. Mungkin jam pembelajaran mereka lebih fleksibel, karena lebih fokus ke riset akhir daripada menghadiri kelas untuk mendengar teori.
Sebetulnya, murid Sekolah Sihir sama sekali tak dituntut untuk berhasil dalam riset. Asal lulus ujian yang sederhananya seperti semester, agaknya juga tidak jauh beda dari tes masuk yang berupa melewati standar-standar yang ditetapkan, maka murid bahkan bisa tidur-tiduran dalam kelas tanpa kena tegur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESECRATE
FantasyNaruto bukan membenci sihir, cuma kurang minat saja dalam menekuni ilmu tersebut. Ia lahir di Kota Lima, yang kerap dipandang rendah oleh Kota lainnya. Lemah, kampungan, terbelakang soal sihir ... begitulah anggapan orang-orang dari wilayah lain. Ta...