"Duh, berat banget." Esha mengaduh sambil berusaha mengangkat tas besarnya. Meski badannya cukup tinggi, namun Esha termasuk perempuan yang terlalu kurus sehingga ia sering disebut tak punya tenaga oleh teman-temannya.
Tak disangka, sebuah tangan besar muncul disamping tangannya ikut membantu mengangkat tasnya. Esha cukup terkejut saat menoleh dan mendapati seorang cowok dengan mata kantuk berdiri tepat di belakangnya.
"Bisa minggir?" tanya cowok itu setelah membantu seorang gadis yang cukup tinggi namun mengangkat tas begitu saja tidak bisa. Huh!
Esha mengernyitkan dahinya namun tetap bergerak ke samping untuk menepi, "Eh ... terima kasih." ucapnya pelan.
Cowok itu mengangkat bahu pelan lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat jendela. Tangannya meraih tudung jaket untuk menutupi kepalanya dan matanya langsung terpejam.
Esha masih berdiri dan mengernyitkan dahinya semakin dalam, "Maaf, itu kursi Mama saya." ucapnya pelan. Berharap cowok itu belum memasuki alam mimpi.
Terbukti dengan matanya yang memerah langsung terbuka seraya mendesah kesal, "Apa lagi, sih?" dengusnya kesal.
Esha terkejut, tentu saja.
"Itu ... kursi yang kamu dudukin seharusnya—"
"Sha, Mama di sini."
Esha menoleh dan mendapati mamanya berjarak sekitar lima kursi darinya. Ia meringis pelan saat melihat mamanya tersenyum sumringah seraya melambaikan tangan. Melihat itu, Esha balas melambaikan tangan ke arah mamanya.
"Udah?" seloroh cowok itu dengan nada kesal.
Esha mengangguk kecil lalu duduk di samping cowok itu. Tangannya merogoh sling bag untuk mencari ponselnya. Lampu notifikasi berkedip. Namun, bukan berwarna biru terang. Esha pun tetap menyalakan ponselnya untuk memastikan barangkali Erlang mengirimnya pesan.
Ternyata nihil. Esha pun mulai mengetikkan sesuatu untuk Erlang.
Esha : Kuliah pagi? Udh makan blm?
Erlang offline.
Esha pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia menghela napas pelan. Memang sudah risikonya memiliki pacar yang sibuk kuliah.
Kereta mulai berjalan. Esha menatap keluar jendela yang terasa sedikit terhalang karena cowok yang duduk tepat di samping Esha menyandarkan kepalanya di dekat jendela. Padahal, Esha mau duduk di dekat jendela.
"Gue nggak nyaman tidur diliatin,"
Mata Esha yang sedang sibuk meneliti lintas kereta api mengerjap perlahan. Cowok ini pura-pura tidur, ya?
Cowok itu mengucek matanya dengan urakan lalu menguap, "Dibilang gue nggak nyaman tidur diliatin," ulang cowok itu lebih tegas.
"Kamu ini kenapa, sih?" tanya Esha tanpa rasa kesal. Bingung lebih mendominasi dirinya sekarang, "Kalo kamu nggak nyaman, bisa kita tukeran tempat? Saya suka duduk di dekat jendela."
"Nggak."
Cowok itu kemudian melepas jaketnya dan digunakan untuk menutupi tubuhnya terutama bagian wajah. Melihat itu, Esha mendesis kesal lalu bangkit dari duduknya dan menoleh ke arah Mamanya.
"Duduk." desis Mamanya pelan seraya memberi isyarat pada Esha untuk kembali duduk.
Esha melotot dan kembali duduk. Merogoh tasnya dan membuka ponselnya.
Esha : El, aku bosen.
Erlang masih offline.
KAMU SEDANG MEMBACA
1332 Km Before I Meet You
Подростковая литератураResha menatap ragu layar ponselnya yang tengah menampilkan jarak tempuh dari posisinya sekarang menuju suatu tempat. Sebuah tangan tiba-tiba terulur menyentuh tangannya dengan lembut, "Dengar, ya, sejauh apapun aku pergi..." "Aku pasti kembali."