.part four.

89 52 40
                                    

Esha menaruh asal tas ranselnya dan menghempaskan badannya di atas kasur. Matanya terpejam, namun tangannya tetap bergerak meraba tas selempangnya untuk mencari ponsel. Lampu notifikasi berwarna biru terang berkedip.

Erlang membalas pesannya!

Erlang : Mbb ya, aku sibuk banget sama tugas. Kamu udah sampai?

Sesimpel itu, tetapi berhasil membuat Esha langsung tersenyum cerah.

Esha : Udah, baru aja aku sampai. Udh makan blm? Lagi apa skrng?

Erlang offline lagi.

Esha mengembuskan napasnya dengan berat. Tangannya beralih membuka pesan dari sebuah grup yang berisi teman-teman sekolahnya.

Meta : Sha, kok nggak bilang ke Surabaya?

Rara : kaos i love surabaya ya jangan lupa hehe.

Kana : Ngapain ke Surabaya?

Kana : demen banget koleksi oleh-oleh kaos si Rara.

Esha merubah posisi tidurannya menjadi tengkurap dan mulai mengetikkan balasan untuk teman-temannya.

Esha : Nenek sakit katanya :(

Rara : Kok katanya? Beneran sakit atau engga jdinya?

Kana : Rara pertanyaannya :)

Esha : Tadi gue dateng salaman terus langsung masuk kamar. Belum nanya-nanya lagi keadaannya. Keliatannya kayak baik-baik aja, sih.

Rara : kaos gue jangan lupa ya, Sha.

Meta : Brisik si Rara.

Esha : Iya Rara kalo gue nggak lupa ya.

Esha baru saja ingin mengirimkan pesan kembali untuk Erlang. Namun, Mamanya masuk ke kamar dan menyuruhnya untuk mandi. Esha langsung menaruh ponselnya di atas nakas dan mengambil perlengkapan mandinya di tas.

Esha menghentikan langkah kakinya keluar kamar ketika secara tiba-tiba—saat Esha sedang mebuka pintu kamar—ada seseorang yang berjalan dengan cepat melewati depan pintu kamarnya.

Dia mau ngapain?

Esha mengernyitkan dahinya memperhatikan cowok di kereta tadi yang berjalan terburu-buru melewati pintu kamarnya.

Tanpa disangka cowok itu berbalik ke arah Esha dan bertanya dengan tidak sabaran, "Toilet dimana?"

Esha tersenyum manis dan berjalan lebih dulu. Cowok itu hanya mengikuti di belakang Esha sambil menggerutu pelan. Namun, ketika pintu toilet sudah berada di depan mata keduanya, Esha langsung berlari secepat mungkin dan masuk ke dalam toilet tersebut.

Cowok itu melotot dan langsung menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan keras, "Heh, cepetan keluar nggak, gue kebelet!"

Tidak ada sahutan sama sekali. Hanya suara keran air menyala diiringi dengan suara Esha yang mulai bersenandung pelan.

"Sialan."

*

Erlang calling . . .

Esha berdeham sebentar sebelum menggeser ikon bergambar telepon berwarna hijau di layar handphone-nya untuk menjawab panggilan, "Halo, El?"

El panggilan singkat Esha untuk Erlang.

"Kamu lagi apa?" tanya Erlang jeda sebentar diiringi dengan suara ketikan keyboard laptop, "Maaf ya, aku offline terus hari ini. Tugas banyak banget ini aja aku sambil ngerjain,"

Esha diam mendengarkan. Tidak berniat menjawab pertanyaan Erlang sebelumnya.

"Kok, kamu diem aja? Kamu marah? Aku minta maaf, ya?"

Esha tertawa kecil mendengarnya. Erlang terlalu baik.

"Aku nggak marah," jawab Esha singkat.

"Terus kenapa diam aja? Udah makan belum? Nenek kamu gimana keadaannya?" tanya Erlang beruntun dalam satu tarikan napas.

Esha tertawa kecil lagi, "Kamu cerewet banget!"

Terdengar suara helaan napas diujung telpon, "Kalo aku cuek nanti kamu marah,"

"Maaf ya, El, aku masih belum bisa berubah dari dulu," ucap Esha pelan karena sedikit merasa bersalah, "Aku jawab satu-satu pertanyaan kamu, ya. Aku diam aja karena bingung. Aku belum makan karena belum siap makanannya. Terakhir, Nenek aku keadaannya baik-baik aja cuma kecapean aja katanya,"

Hening. Tidak ada jawaban.

Esha mengernyit sambil menjauhkan ponselnya dari telinga dan mengecek sambungan teleponnya dengan Erlang.

Masih nyambung, kok.

"Halo, El?" panggil Esha.

"Eh, iya, halo ... kenapa?"

Esha mendengus, "Dasar nyebelin!"

Suara ketikan keyboard laptop terhenti, "Maaf, aku tadi lagi fokus ngerevisi bahan buat presentasi besok,"

"Aku diam aja karena bingung. Aku belum makan karena belum siap makanannya. Terakhir, Nenek aku keadaannya baik-baik aja cuma kecapean aja katanya," ucap Esha mengulang kembali jawaban dari pertanyaan Erlang.

"Bingung kenapa?"

"Maaf, El, aku masih belum berubah. Masih suka marah-marah dan ngambek sama kamu meski cuma hal-hal kecil. Semangat, ya, kuliahnya disana." ucap Esha tulus.

Erlang tertawa, "Nggak apa-apa, sayang."

Pipi Esha bersemu. Kedua sudut bibirnya tertarik sempurna membentuk senyuman lebar saat mendengar sebutan Erlang untuknya. Namun, setelah mengingat sesuatu wajahnya berubah langsung menjadi datar, "Kamu tau nggak—"

"Pasti awal mula gibah kalo ada pertanyaan 'kamu tau nggak'?"

"Bukan gibah tapi aku mau cerita," ucap Esha dengan nada menggebu-gebu, "Aku kesel banget tadi naik kereta. Masa aku sebangku sama cowok cerewet banget, El. Semua yang aku lakuin selalu salah dan dimarahin sama dia. Setelah turun dari kereta dan keluar dari stasiun ternyata itu keponakannya Pakde Mulyo! Pakde Mulyo itu tetangga Nenek dan udah dekat banget sama keluarga aku. Terpaksa aku satu kereta, satu mobil, bahkan sekarang tetanggaan,"

Erlang tertawa kecil mendengarnya, "Biarin ajalah, Sha. Diemin aja orang kayak gitu,"

"Nggak bisa! Aku kesel banget. Aku nggak suka lihat mukanya!" nada Esha naik satu tingkat dan tangannya mengepal.

"Jangan terlalu kesel sama orang, Sha. Nggak ada yang tau kedepannya gimana dan sifat aslinya dia seperti apa," ucap Erlang memberi nasihat.

Esha diam. Sejujurnya dia tidak terlalu setuju dengan ucapan Erlang. Tetapi membantah pun percuma kan? Erlang nggak tahu cowok kereta tadi se-senyebelin apa.

"Jaga diri baik-baik, ya, Sha. Aku mau lanjut ngerjain tugas. Aku tutup ya teleponnya?" pamit Erlang.

Esha tanpa sadar mengangguk, "Oke. Kamu juga jaga diri baik-baik ya disana. Jangan lupa makan dan istirahat. I love you,"

"Iya, sayang."

1332 Km Before I Meet YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang