Mengundang Kesedihan

29 2 0
                                    


JAM di pergelangan sudah menunjuk pada pukul setengah tujuh malam. Seharusnya, aku sudah tiba di rumah dan sedang memakan masakan yang telah kaumasak untukku. Kita bergurau di meja makan dan kau akan mulai membicarakan tentang kursi-kursi bayi dan anak-anak yang selalu kutolak untuk kita miliki. Setelah itu, merajuk adalah ultimatummu dan satu-satunya cara untuk berbaikan hanyalah dengan kunyanyikan lagu lama favoritmu diiringi getar senar gitar tua yang kucuri dari rumah lamaku. Namun, aku mendapat panggilan mendadak untuk pergi ke ruangan atasan. Sejujurnya, ini mengejutkanku. Wanita itu biasanya sudah pulang bahkan jauh sebelum mentari terbenam, tetapi kali ini ia belum pulang dan malah memanggilku ke ruangannya. Apa aku berbuat kesalahan yang sebegitu besarnya kali ini?

Kuangkat kepalan tanganku di udara ketika berada di depan pintu ruangan serba putih berisikan perabot termahal yang ada di gedung ini, niat hati bersiap-siap untuk mengetuk. Namun, sebelum aku sempat melakukannya, dia sudah terlebih dahulu membukakan pintu dan mempersilakan aku untuk masuk. Ini pertama kalinya untukku bisa menapakkan kaki di sini. Namun, wow! Ketika sudah duduk, mataku menatap lekat-lekat setiap inci dari interior ruangannya, benar-benar mengesankan. Setiap ornamennya diletakkan dengan penuh perhitungan dan bukan tanpa arti. Mejanya terbuat dari kayu termahal nan mengkilap yang di atasnya terdapat ukiran dengan motif yang langka. Kutebak, harganya pasti lebih mahal dari gaji yang akan kudapat seumur hidupku. Sebagai interior desainer, aku tak bisa menahan diriku untuk tidak menatap satu demi satu furnitur glamor yang ada tanpa memperkirakan maksud dari tata letak serta seberapa banyak rupiah yang dibutuhkan untuk menempatkannya di sana.

"Sudah selesai mengagumi ruanganku?" tanyanya. Dari suaranya, jelas sekali ia terdengar tidak senang.

Aku buru-buru berdeham dan merapikan setelan kantorku. "Ah, maaf—"

"Benar, kau harus minta maaf dan melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanmu."

Alis mata kunaikkan. Aku tak merasa sedang melakukan kesalahan besar, pun seharian tadi. Alih-alih memusingkan perkataannya, atensiku malah tersita oleh jam dinding yang terletak di belakang wanita itu. Jarum-jarum yang tersangkut di atas sana memberitahuku kini telah masuk pukul tujuh. Aku berharap cemas, semoga kau tidak menunggu terlalu lama di rumah dan masakanmu belum dingin kelak ketika aku sampai.

Dan ketika aku sedang membayangkan makan malam bersamamu, perempuan itu mendekat dengan segelas bir. Dia berjalan ke arahku dengan sensasional dan duduk tepat di atas meja kayu yang ada di hadapanku. Seketika itu pula, aku merasakan bau parfumnya yang begitu menyengat sekaligus menggoda memenuhi kepalaku. Aku pernah mencium aroma macam ini dulu, sudah lama sekali. Kalau tidak salah, ketika aku berfoto dengan seorang bintang teater terkenal yang sedang tampil di Broadway. Namun, kali ini jelas berbeda. Parfumnya ribuan kali jauh lebih memabukkan—dalam konteks seksual—dibanding seluruh parfum yang pernah kucium.

Wanita itu kemudian tersenyum miring dan menatapku lekat-lekat. Ketika ia membuka mulutnya untuk berbicara, aroma parfum yang menggairahkan tadi lantas bertukar dengan bau alkohol yang begitu pekat. Ia mulai menjamah setiap inci dari wajahku dengan jemarinya yang halus dan tangan lainnya mulai mencekokkan bir yang ia bawa kepadaku tanpa memberiku sedikit pun kesempatan untuk menolak. Aku terbatuk dan merasakan ada sesuatu yang salah di sini. Mimpi, keinginan, gairah, menjalar dalam tubuhku. Dan bagian kecil dari diriku tidak merasa nyaman akan hal itu.

Aku memutuskan untuk menginterupsi, namun tidak bergerak barang satu senti dari tempatku. Sejujurnya, aku menikmati hal ini. Hasrat yang ada terlalu kuat untuk ditolak. "Apa yang ingin Bu Manajer katakan sampai repot-repot memanggil saya?"

Wanita itu mengulum senyuman. "Aku ingin memberimu kebahagiaan. Tinggallah di sini untuk malam ini," pintanya. Kini wajahnya yang tangguh dan keras berubah memelas dan kesedihan terefleksi dengan sempurna di kelam bola matanya. Wajah seksi bak pahatannya menunjukkan bahwa ia sedang kesepian dan putus asa. Bahkan cukup putus asa sampai-sampai mengajak karyawan rendahan macam aku untuk menemaninya menghabiskan malam.

Berdansa Dengan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang