Aku Ingin Terlelap Sampai Tiba Hari Ulang Tahunmu

18 2 0
                                    


Aku ingin anak kecil yang sudah lama tertidur dalam diriku bangun kembali suatu hari nanti, merengek meminta pergi bersama orang tuanya ke kebun binatang atau ke pantai. Namun lusinan kali kucoba, anak kecil itu tetap mati dan tidak dapat dihidupkan kembali. Jiwaku yang lebih dewasa selalu mengingatkannya betapa hidup ini keras dan tidak ada waktu untuk bermain-main. Bahkan tidak ada waktu untuk sekadar pergi ke museum atau mengunjungi nenek di kampung.


Namun matamu berhasil membuat anak kecil itu kembali hidup dan berangan akan hal-hal yang mustahil. Hal-hal seperti betapa bahagianya tetap berada dalam rahim ibu dan tidak berkenalan dengan kekonyolan besar yang kita sebut hidup atau tentang menjadi anak kecil selamanya. Kau yang mendengar hal itu sontak tergelak hebat.

"Kalau kau tetap dalam rahim ibumu, kau tidak akan pernah bertemu denganku, Konyol."

Aku terdiam sejenak. "Hm, benar juga. Bagaimana jika pilihan yang ke dua?"

Kau mengerutkan keningmu mencoba berpikir. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya kedengaran menyenangkan. Kau tidak perlu mencemaskan tentang apapun selain mengapa kartun favoritmu yang selalu kaunanti tidak tayang di teve."

Anggukan kuberi sebagai balasan. Kau menghentak-hentakkan kakimu cemas sambil berkali-kali melirik ke jam yang melingkar di pergelangan. Bibir bawah kaugigit dan raut gelisah sangat kental terlihat di wajahmu. Ribuan pertanyaan tumbuh dalam kepalaku. Apa kau takut kepadaku? Apa aku mengatakan hal yang salah? Apa kau sedang menunggu seseorang?

Jika aku adalah anak kecil, aku bisa mengutarakan apa-apa yang ingin aku keluarkan tanpa perlu berpikir tentang penolakan. Aku bisa bermanja setiap hari kepadamu dan bertanya tentang hal-hal yang kaupikir bodoh; sesuatu semacam menjadi pakaian lamamu yang tidak sudi engkau sumbangkan padahal kautahu baju itu tidak akan pernah muat lagi untukmu.

Dan ketika itu juga, dia datang. Seluruh kecemasan di wajahmu seolah tersapu bersih oleh ombak. Senyum sumringah terlukis di bibirmu menyambut kedatangannya. Saat itu juga, seperti ada sesuatu yang retak dalam diriku. Kekosongan mengisiku seperti air terjun. Seluruh anggota tubuhku rasanya seperti kebas.

"Sudah lama menunggu?" tanyanya, kemudian lengan kirinya dirangkulkan ke bahumu. Aku tidak menyukai hal itu. Aku tidak menyukainya. Wajahnya yang angkuh seolah ingin memamerkan ikatan yang ada di antara kalian kepadaku. Aku juga tidak menyukai caramu menatapnya. Mengapa kau tidak menatapku dengan cara yang sama?

"Belum lama," jawabmu. Bongkahan kecil dalam diriku merasakan gejolak yang aneh. Apa ini benci? Apa ini amarah? Apa ini kesedihan? Apa ini ... cemburu?

"Aku pamit dulu," katamu pada akhirnya. Aku tertawa getir ketika kau melambaikan tangan dan perlahan menjauh dariku.

Jika aku anak kecil, aku tidak akan mengenal matamu sebagai lubang yang tercipta untuk menenggelamkanku. Kini aku tahu mengapa luka tidak memaafkan pisau dan mata. Dalam matamu, aku melihat banyak harapan-harapan yang entah memang kauberi atau hanya khayalanku sendiri. Aku tidak ingin mendengar kabar bahagiamu, aku tak sanggup. Satu-satunya hal yang kini aku inginkan hanyalah terlelap sampai tiba hari ulang tahunmu.

Setidaknya selama aku terlelap, kecemburuan akan tumbuh dalam hatiku sendiri dan dunia tidak akan pernah melihatnya. Aku tak ingin kau sampai melihatnya, aku tak sanggup. Karena bagiku kau adalah semesta dan kau hanya melihatku sebagai orang asing di terminal bus. Mungkin kau akan melihatnya, tapi nanti, tidak sekarang. Nanti, ketika hari ulang tahunmu tiba. Dan selama rentang di antara keduanya, aku akan mempelajari banyak hal.

Salah satunya adalah tentang merelakan.

Berdansa Dengan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang