1. Luka Introduction

2.4K 236 33
                                    

Aku dan Pealin LDR-an.

Anggaplah seperti itu, karena dia kembali ke kota asalnya setelah lulus kuliah, tepat sehari sesudah hari wisuda.

Aku marah. Jelas saja. Dua tahun kami miskomunikasi lalu saat keadaan di antara kami sudah membaik, dia main pergi seperti mobil yang berhenti di rest area saat musim mudik lalu setelahnya pergi, dia jadikan aku sebagai singgahan sementaranya. Aku tidak terima bila benar ia anggap seperti itu.

Pealin pergi sebulan yang lalu, namun kepergiannya kali ini sangat berat untukku, hanya merasa begitu kehilangan. Sampai kapan waktu memihak padaku untuk bisa menghabiskan setiap hari berdua dengannya, seperti dulu.

Jika tahu akan adanya perpisahan, aku pasti tidak akan menyia-nyiakan dua tahun kemarin dengan keegoisan, apalagi rasa cemburuku.

Tapi aku pun ingin sekali rasanya memaki si Pea, karena tega membuatku uring-uringan setiap saat. Dia tega membiarkanku salah paham. Dalam hal ini, dia yang salah kan?

Setelah acara wisuda itu. Pealin tanpa izin mengajakku berkeliling menulusuri jalanan kota. Awalnya kupikir dia akan mengantarku pulang, tapi jalanan yang dilaluinya berbeda, membuatku berpikir bahwa dia sedang menculikku. Maka aku tersenyum saja, dengan senang hati menyerahkan diri.

Pealin menarik lenganku untuk memeluknya erat, supaya aku tidak terpental saking ngebutnya motor yang ia bawa. Perlakuan kecil nan manis yang diberikannya selalu membuatku merasa senang, tapi aku gengsi mengakuinya, dan selalu berusaha agar rasa senang itu tidak ditunjukkan kepadanya.

Untuk pertama kalinya aku bertemu orangtua Pealin, dan Pealin yang berinisiatif mengenalkanku kepada mereka.

Keluarganya sangat asik, tidak bosan mengobrol dengan mereka, seperti halnya aku ketika bersama Pealin.

Pealin anak tunggal, tapi dia tidak manja, bahkan kupikir dia sangat dewasa. Rasanya aku terlalu sering memujinya.

Wajah Pealin hampir mirip dengan ayahnya, sama-sama memiliki garis rahang tegas dan memancarkan wajah penuh kharisma.

Pertemuanku dengan orangtuanya hanya berlangsung sebentar namun berharga.

Dia akhirnya berhenti ditujuan, membawaku ke kedai yang berada di perbukitan sehingga memberikan suasana menenangkan, apalagi disuguhi suasana kota yang terhampar di depannya.

"Pegel kaki gue." Aku mengeluh saat turun dari motor, terlebih aku masih memakai dress yang membuatku tidak leluasa bergerak, berbeda dengannya yang memakai blazer charcoal dipadukan dengan celana berwarna senada. Perjalanan untuk menuju kemari membutuhkan waktu setengah jam lebih, tak jarang aku mengomel sepanjang perjalanan.

"Nanti gue pijit." Pealin terlampau perhatian, justru sikapnya itu membuatku salah paham. Mungkin perasaanku ini sepenuhnya disebabkan karena sikap Pealin yang terlalu baik kepadaku.

Atau mungkin aku nya saja yang baperan.

Dasar hati, baru di colek sedikit sudah gemeteran.

"Lo gak capek apa?" tanyaku ketus.

Pealin menggenggam lenganku dengan ekspresi seolah gemas. "Sejak kapan gue pernah capek sama lo."

Keningku berkerut, aku nanya apa dia jawab lain. Makin siang makin panas, kerja otaknya pun makin tak beres.

"Ih maksudnya lo kan seharian ini habis ngerayain wisuda, terus malah ngajak gue ke sini, mana jauh banget lagi. Keburu gak nanti pulangnya? Gue gak mau malem-malem masih di jalan ya!"

Namun Pealin malah menyeringai seolah senang diomeli olehku, dasar aneh.

"Bawel! Tapi gue kangen elo bawelin. Coba ngomong lagi dong."

Pealin [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang