LIMA

15.5K 521 3
                                    

Elijah POV

"Baby...." Ibuku memelukku erat dan mengecup kedua pipiku basah.

"Oh.. Come on, Mi." Aku berusaha terlepas dari pelukan erat ibuku.

"Why? Mami kangen sekali. Kamu satu bulan ini gak pernah datang." Ibuku menggiringku menuju meja makan. Aku melepas jasku dan menyerahkan kepada pelayan.

"Hai, Pi." Sapaku, ayahku sedang membaca sebuah majalah.

"Hmm." Jawab ayahku dan menurunkan sedikit kacamatanya melirikku. "Kamu terlihat baik, sesuatu terjadi?"

Ayahku memang selalu memiliki insting kuat, "Tak ada yang spesial." Jawabku mengalihkan pembicaraan dan duduk.

"Kamu akan menginap bukan?" tanya ibuku semangat dengan mata berbinar. Aku tersenyum kecil. "Iyakan?" ibuku kembali bertanya semangat.

"Aku sangat sibuk, Mi."

"Kamu bisa berangkat pagi-pagi sekali dari sini." Ibuku melirik ayahku meminta dukungan tetapi ayahku hanya tersenyum kecil dan menggeleng. "Jangan bilang kamu pulang untuk meniduri wanita-wanita jalang itu lagi." Rajuk ibuku. Aku menatapnya terkejut, sejak kapan ibuku mulai memaki?

"Aku pulang untuk beristirahat."

"Kamu mulai pintar bohong ya. Mami dengar kamu sudah tidak bisa berhenti mengkonsumsi pil tidur. Itulah mengapa kamu harus memiliki istri."

Here you go. Ibuku mulai menyinggung hal ini lagi. "Mami jangan percaya Ardinata, dia suka lebay."

"Jelas mami lebih percaya dia. Kamu sudah 35 tahun, Nak. Mami sama papi mau menimang cucu. Ardinata aja sudah punya tunangan, masa kamu belum."

Aku tertawa tanpa suara dan mulai menyantap makanan di hadapanku. "Jangan menyamakanku dengan Ardinata, Mi."

"Setidaknya kalian bersama sejak sekolah dulu, kalian popular diantara gadis-gadis. Masa tak satupun yang nyantol?" Ibuku menghela napas panjang. "Teman-teman Mami sudah banyak yang menggendong cucu." Ibuku memberi kode ke ayahku agar membantunya membujukku.

Ayahku berdehem sejenak, "Dengarkan Mamimu, El."

Di pojokkan seperti ini, pikiranku tiba-tiba terisi oleh sosok Hillary. Aku tidak tahu apa yang mendorongku memikirkan hal gila tersebut. "Aku sudah mempersiapkan pernikahan." Kataku tenang sembari menyecap white wineku.

"Huh? Siapa? Untuk Ardinata?"

"Nope. For me."

Ibuku menoleh kearah ayahku bingung. Ayahku menggeleng pelan sambil tersenyum. "Jadi itu alasan baik mengapa kamu terlihat berbeda hari ini." Kata ayahku.

"Mami gak paham. Lalu siapa wanita itu? Kenapa kamu merencanakan di luar sepengetahuan Mami? Seperti apa sosoknya?"

"Mami akan tahu nanti." Jawabku final. Ibuku masih menatapku dengan kening berkerut. Jelas beliau sangat penasaran. Anak satu-satunya ini merencanakan moment penting tanpa sepengetahuannya. Terlebih lagi aku terlihat hanya bergonta-ganti wanita dan tak pernah terlihat memiliki hubungan serius.

Aku memasuki kamar lamaku dan mulai membuka kemejaku perlahan. Kamar ini adalah kamar masa kecilku. Ibuku tak pernah ingin merubah konsep dan dekorasinya. Di dinding sebelah kanan banyak terpajang fotoku saat memenangkan banyak lomba berbaur dengan fotoku bersama ayah ibu. Aku merilekskan tubuhku di bawah guyuran air hangat. Tubuhku penat setelah bekerja seharian. Aku menyentuh beberapa luka di dada bidangku. Luka yang kudapat dari banyak pelatihan bela diri menggunakan pisau dan benda tajam lainnya.

Ayahku memang keras dalam mendidikku. Ketakutannya terhadap kasus pamanku menjadikannya paranoid. Kaca yang terdapat di dalam kamar mandi itu juga merifleksikan luka-luka di punggungku. Aku tak pernah mengijinkan satu orangpun menyentuhnya. Mereka tak perlu tahu penderitaan yang kulalui untuk menduduki posisi itu. Tanganku terkepal kuat, bayangan Hillary kembali memenuhi pikiranku. Ingin rasanya segera kupeluk tubuh jenjang itu, menikmati setiap ruang kosong yang akan terisi seiring waktu.

Girl In White Lingerie (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang