Sekolah hari ini berjalan dengan lancar. Tidak ada gangguan, dan tidak ada tekanan. Aku kini sedang mengayuh pedal sepeda ontel kesayanganku, berusaha untuk menaklukan sebuah tanjakan yang menjadi saksi ketika aku terjatuh beberapa hari lalu. Lantas, aku berkonsentrasi agar hal itu tidak terulang lagi.
GUBRAK!
Hah? Suara apa itu? Aku semakin kuat saja mengayuh pedal sepeda guna melihat apa yang sebenarnya terjadi di depan sana.
Ketika sudah berhasil menaklukan tanjakan itu, aku melihat sebuah motor yang terjatuh bersama pengendaranya.
Respect, aku segera turun dari sepeda dan berjalan menghampirinya yang setengah duduk di atas aspal. Itu kenapa coba bisa jatuh? Jalan ini kan tidak ramai, biasa saja.
Pertama, aku berjongkok di sebelahnya, kemudian bertanya, "Kamu gak apa-apa?"
Orang yang masih mengenakan helm ini berdecak kencang kala aku bertanya seperti itu. "Kenapa?" tanyaku lagi.
"Lo bego nya natural, ya," katanya.
Memangnya ada, ya, bego yang pake filter?
"Kok gitu sih? Aku kan nanya bener-bener," tegurku.
"Ya lo pikir aja deh. Gue jatuh dari motor, dan lo masih tanya gue gapapa? Ck!" Dia berdecak lagi.
Siapa sih dia? Suaranya serak dan asing di telingaku. Jangan-jangan, dia om-om lagi!?
"Istighfar, jangan marah-marah, ingat umur."
Aku lantas membantunya untuk berdiri pelan-pelan. Menuntunnya menuju trotoar jalanan.
"Tunggu." Setelah memapahnya untuk berjalan dan duduk, aku segera berlari menuju keranjang sepedaku, lebih tepatnya mengambil botol air mineral yang aku bawa dari dalam tas. Lumayan nih masih ada sedikit lagi. Cukuplah ya untuk membersihkan luka.
Aku kembali lagi dan duduk di sampingnya. Meraih tangannya, tapi segera ditepis oleh sang empunya.
"Ganjen!"
"Eh, maaf-maaf. Aku cuma mau bersihin luka di tangan kamu aja," kataku seraya menarik tanganku.
Aku menghela napas, lantas berdiri hendak menyimpan botol ini kembali ke tempatnya semula. Namun, rokku ditarik pelan dari samping hingga membuatku menoleh lagi padanya.
Ia menyodorkan tangannya sembari memalingkan wajah. "Bersihin deh," katanya.
Gengsian!
Aku duduk lagi di sampingnya. Mulai membersihkan luka dan menempelkan plaster yang memang sering aku bawa ke mana-mana tanpa banyak bicara. Keuntungan dari sedia plaster sebelum luka ya begini.
Ketika plaster dengan motif kuda pony menempel di punggung tangannya, aku berpesan, "Nanti kalau udah sampai rumah, kasihin obat merah supaya kering lukanya."
"Lagian, kenapa bisa jatuh begini?" lanjutku bertanya.
"Disenggol," jawabnya.
"Disenggol siapa?"
"Setan."
Aku menatapnya horror. Ini orang mau ngelawak, ya?
Berusaha untuk tak memperdalam rentetan pertanyaanku, aku mengangkat kepala guna melihat wajahnya yang tertutup helm. Berkedip-kedip, aku memiringkan kepala. Helmnya full face, aku jadi tidak bisa melihat wajahnya. Tapi ... lumayan bisa dipakai untuk bercermin.
Konyol memang, tetapi aku benar-benar berkaca di sana. Merapikan rambutku, lalu tersenyum. Uh, cantik juga, ya.
Tiba-tiba, ketika sedang asik bercermin, kaca helmnya terbuka.
Aku kaget dong! Hendak terjengkang ke belakang, tapi Antares keburu menahan lenganku. Ya, orang itu adalah Antares si suka memerintah.
Heran, kenapa dia ada di mana-mana sih!?
"Kok kamu lagi!?" Tanpa sadar, aku meninggikan suaraku.
"Lha, dari tadi ke mana aja?" Bukannya menjawab, ia malah bertanya balik.
"Di sini."
"Serius," pintanya.
"Iya, serius." Aku menatapnya lekat. Beneran deh, ini sudah serius. Duarius malahan.
Ia memutar kedua bola matanya malas. "Ya ini gue."
"Kok suaranya beda?" tanyaku. Ini yang buat aku tidak mengenalinya.
"Lagi gak enak tenggorokan gue nya," jawabnya. Ih, pasti perih.
"Mau minum?" Aku menyodorkan botol air yang belum aku simpan kembali ke dalam tas.
"Lo nawarin?"
"Iyalah."
"Maksudnya apa nih? Kok tiba-tiba?" tanyanya.
"Kalau lagi sakit tenggorokan, aku jadi nyeri nelen juga. Harus dibanyakin minum itu tuh. Siapa tahu kamu juga begitu, makanya aku tawarin air." jawabku.
Ia terlihat menimbang-nimbang, sampai akhirnya tangannya meraih botol yang ada di genggaman tanganku. Airnya habis dalam sekali teguk. Ini sih seperti ikan yang kehausan air.
"Cupang," kataku spontan ketika melihatnya menghabiskan air minum.
"Ha?"
Aku cengo. Segera menutup mulut, lantas menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Gak ada, gak ada!"
"Lo ngatain gue cupang? Sembarangan!"
Aih, dia dengar? Terus, kenapa tadi nanya?
"Keceplosan!" seruku. Kenapa dia suka banget nyalahin aku sih?
Wajahnya berubah datar. Ia menyerahkan botol itu lalu berdiri.
"Eh, mau ke mana?" tanyaku.
"Kayangan!" Begitu jawabnya.
"Tapi di punggung kamu kok gak ada apa-apanya sih?"
"Maksudnya?"
"Kan kalau bidadari itu biasanya punya sayap di punggung."
Antares bersedekap. "Gue cowok. Di mana-mana, bidadari itu cewek!"
"Yaudah deh bidadara, ya?"
"Malaikat, lha."
"Oh iya."
Lalu, hening melanda. Aku dan dia sama-sama terdiam. Dia berdiri dan aku terduduk di tempat masing-masing tanpa terlibat sebuah percakapan, hingga Antares kembali melanjutkan langkahnya menuju sang motor sport kuning berselip hitam.
"Mau ke mana?" tanyaku.
Tanpa menoleh, Antares menjawab, "Balik."
Aku hanya diam memperhatikannya yang tengah membenarkan letak motor sport kesayangan. Ah, ya. Sejak tadi, motor itu tergeletak di atas aspal yang kasar. Aduh, mana ingat.
Sampai derum motor berbunyi nyaring, aku masih diam. Dan tanpa menoleh lagi kepadaku, dia segera tancap gas dan pergi dari hadapanku bersama si kuning. Duh, kuning-kuning berjalan jadinya.
Motor itu sudah hilang dari pandanganku. Perlahan, aku berjalan menghampiri sepeda dengan kepala yang tertunduk. Tumben Antares sendirian, biasanya kan dia suka ditemani ketiga temannya yang aku tidak ketahui namanya siapa.
Aku menghela napas panjang. Mengangkat kepala, dan aku malah terkejut.
"Aciee!"
Aku mengerjap-ngerjap. Nuha? Kok dia ada di sini? Kenapa bisa?
"Jadi, ada hubungan apa di antara kalian?" tanyanya dengan kedipan jahil. Memangnya, ada apa antara aku dan Antares?
"Lo harus cerita sama gue."
Eh, eh?
"Latihan. Supaya lo gak kaku lagi kalau kita udah fiks berteman," lanjutnya. Anak ini ....
Sekali lagi, kenapa dia bisa ada di sini? Sejak kapan hei?
🧀🧀🧀
KAMU SEDANG MEMBACA
Galaxy Me
Teen FictionJuju punya kehidupan yang tidak pernah tersentuh siapa pun. Ia senantiasa menarik diri, timbul, menarik diri lagi, dan terduduk di sudut dunianya. Juju berdiri di sudut pandang yang berbeda dari yang lain, tidak ingin mengubah takdir, hanya ingin be...