|9| Kakak

12 3 3
                                    

"Mana obatnya? Cepetan!"

Aku buru-buru merogoh ransel dan mengambil sebotol kecil obat dari sana. Entah siapa yang salah. Yang jelas, obat ini nyasar ke dalam tas ku entah ulah siapa.

Aku memberikan obat itu kepada kakak yang tengah berbaring lemah. Kentalnya darah tidak berhenti mengalir dari hidungnya. Ia langsung meminum obatnya. Belasan tisu sudah teronggok di dalam plastik. Bukan lagi berwarna putih, melainkan merah akibat darah.

"Gimana, Kak? Enakan?" tanyaku. Kak Ina mengangguk dengan lemas. Kepalanya kembali ia letakkan di atas bantal. Ia mengambil tisu baru dan mengelap lubang hidungnya yang lagi-lagi basah oleh darah.

"Aku gak tahu kenapa obatnya ada di dalam tas aku. Maaf." Aku menundukkan kepala, benar-benar menyesal karena kecerobohan ini.

"Gapapa, keknya kakak emang salah masukin."

Tadi, kakak dibawa pulang dari kampus oleh temannya. Katanya sih tiba-tiba pingsan. Andai saja obatnya tidak terbawa olehku, pasti peristiwa ini tidak akan terjadi.

"Kamu gak usah ngerasa gak enak, Dek. I'm fine," katanya. Aku menatap matanya yang juga tengah menatapku dengan mata yang sayu. Dia terlihat lemah sekali, dan aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja.

"Lain kali hati-hati. Cek dulu apa-apa nya," petuah ibu. Ibu berdiri di samping kasur sembari menenteng plastik yang berisikan tisu bekas darahnya kakak.

Aku duduk di ujung kasur lainnya ketika ibu melangkah pergi keluar kamar.

Kakak meletakkan tangannya di atas punggung tanganku. "How was your day?" tanyanya.

"Baik." Aku masih menunduk.

"Masih gak mau bersosialisasi?" tanyanya lagi. "kamu makhluk sosial, lho, gak bisa hidup tanpa orang lain. Juga kamu gak hidup sendiri di dunia ini. Belajarlah terbuka."

Aku menghela napas, belum mau saja sih. Nanti juga bersosialisasi, kok. Nanti tapi, ya. Tidak tahu kapan.

"Ada yang ngajakin aku temenan, Kak," ucapku mulai bercerita tentang hari ini.

Sebuah senyuman terbit di wajahnya yang cantik. "Bagus dong. Terus gimana?"

"Gak gimana-gimana."

"Lho, kalian gak jadi temenan?"

"Aku gak tahu harus ngerespon gimana lagi. Pertemanan itu hanya jebakan, Kak. Aku gak bisa gak berharap sama mereka. Aku gak mau kecewa," jawabku.

"Ya kamu bakal kecewa kalau berharap sama manusia mah. Coba lakukan semuanya karena Allah. Kamu gantungin semua keinginan kamu sama Dia, jangan sama manusia. Setiap ada pertemuan, pasti ada juga perpisahan. Gak ada satu pun yang bisa mencegah itu terjadi. Itu udah jadi hukum alam," balasnya. "kamu harus cobain sendiri supaya tahu bagaimana rasanya punya teman."

"Aku takut. Gimana kalau nanti mereka khianat?"

"Namanya ujian. Ingat, guru paling berjasa ya pengalaman. Kalaupun kamu gagal atau merasa salah langkah, sengganya kamu masih bisa memperbaiki supaya hal itu gak terjadi lagi." Aku bingung harus ngomong apa lagi. Apa yang diucapkan kakak memang tidak salah sama sekali.

"Kamu gak ngiri emang lihat orang lain punya banyak teman, banyak yang sayang, punya tempat berbagi?" tanyanya.

"Kan ada kakak," balasku.

Kakak tersenyum. "Gak ada yang abadi, Dek."

Wajah kakak pucat, tapi senyumannya tetap menawan seperti biasa. Aku ... enggak akan pernah rela kalau harus kehilangan dia.

Galaxy MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang